Total Tayangan Halaman

Jumat, 02 April 2010

SOSIALISASI POLITIK: TIDAK MEMUNCULKAN CIVIL SOCIETY

Budaya politik merupakan produk dari proses pendidikan atau sosialisasi politik dalam sebuah masyarakat. Dengan sosialisasi politik, individu dalam negara akan menerima norma, sistem keyakinan, dan nilai-nilai dari generasi sebelumnya, yang dilakukan melalui berbagai tahap, dan dilakukan oleh bermacam-macam agents, seperti keluarga, saudara, teman bermain, sekolah (mulai dari Taman Kanak-kanak sampai Perguruan Tinggi), lingkungan pekerjaan dan, tentu saja, media massa, seperti radio, TV, surat kabar, majalah, juga internet.

Tetapi, proses sosialisasiatau pendidikan di Indonesia tidak memberikan ruang yang cukup untuk memunculkan civil society. Yaitu, suatu masyarakat yang membatasi kekuasaan negra yang berlebih-lebihan. Ada dua alas an utama mengapa pendidikan politik di Indonesia tidak memberikan peluang yang cukup untuk memunculkan civil society.

Pertama, dalam masyarakat kita, anak-anak tidak dididik untuk menjadi insan yang mandiri. Anak-anak bahkan mengalami alienasi dalam politik keluarga. Sejumlah keputusan penting dalam keluarga, termasuk keputusan tentang nasib si anak , merupakan domain orang dewasa; anak-anak tidak dilibatkan sama sekali. Keputusan anak untuk memasuki sekolah atau universitas banyak ditentukan oleh orang tua atau orang dewasa dalam keluarga. Demikian juga keputusan tentang siapa yang menjadi pilihan jodoh si anak. Akibatnya, anak akan tetap bergantung kepada orang tua. Tidak hanya setelah selesai pendidikan, bahkan juga setelah memasuki dunia kerja. Hal ini berbeda sekali dengan di Barat. Di sana, anak diajarkan untuk mandiri dan terlibat dalam diskusi keluarga menyangkut hal-hal tertentu. Di Barat, semakin bertambah umur anak, akan semakin sedikit bergantung kepada orang tuanya. Sementara itu, di Indonesia sering tidak ada hubungan antara bertambah umur anak dengan tingkat ketergantungan kepada orang tua, kecuali anak sudah menjadi “orang” seperti kedua orang tuanya.

Kedua, tingkat politisasi sebagian terbesar masyarakat kita sangat rendah. Kalangan keluarga miskin, petani, buruh, dan lain sebagainya, tidak memiliki kesadaran politik yang tinggi, karena mereka lebih terpaku pada kehidupan ekonomi daripada memikirkan segala sesuatu yang bermakna politik.bagi mereka, ikut terlibat dalam wacana public tentang hak-hak dan kewajiban warga negara, hak-hak asasi manusia dan sejenisnya, bukanlah skala prioritas yang penting. Oleh karena itu, tingkat sosialisasi warga masyarakat seperti ini baru pada tahap yang bersifat kognitif, bukan menyangkut dimensi-dimensi yang bersifat evaluatif. Oleh karena itu, wacana tentang kebijaksanaan pemerintah menyangkut maslaah-masalah penting bagi masyarakat menjadi tingkat penting buar mereka. Karena ada hal lain yang lebih penting, yaitu pemenuhan kebutuhan dasar tadi.

Ketiga, setiap individu yang berhubungan secara langsung dengan negara tidak mempunyai alternative lain kecuali mengikuti kehendak negara, termasuk dalam hal kependidikan politk. Jika kita amati, pendidikan politik di Indonesia lebih merupakan sebuah proses penanaman nilai-nilai yang diyakini oleh penguasa negara. Hal itu terlihat dengan jelas, bahwa setiap individu wajib mengikuti pendidikan politik melalui program P-4. Si individu sejak usia dini sudah dicekoki keyakinan, yang sebenarnya adalah keyakinan kalangan penguasa. Yaitu mereka harus mengikuti P-4 semenjak memasuki SLTP, kemudian ketika memasuki SMU, memulai kuliah di Perguruan Tinggi, memasuki dunia kerja, dan lain sebagainya. Proses pendidikan melalui media massa, barangkali, sedikir lebih terbuka dan si individu dapat dengan leluasa utnuk menentukan pilihannya menyangkut informasi yang mana yang dapat dipertanggungjawabkan kebenaran dan ketepatannya.


Sumber: Gaffar Afan, Politik Indonesia (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1999).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar