Total Tayangan Halaman

Jumat, 02 April 2010

PRESIDEN MENGONTROL REKRUITMEN ORGANISASI POLITIK

Hal lain yang berhubungan dengan rekruitmen politik ini adalah kenyataan bahwa Lembaga Kepresidenan juga mengontrol secara langsung rekruitmen pengurus parta-partai politik di Indonesia. Siapa yang akan menjadi pimpinan partai politik, terutama ketua partai, secara langsung atau tidak, dokintrol olehnya. Sejumlah kasus yang berkaitan dengan kongres, muktamar, ataupun musyawarah nasional dari partai-partai polotik di Indonesia, dapat kita jadikan kasus penelaahan.

Pada 1968, Partai Muslimin Indonesia, yang kemudian menjadi Parmusi, mengadakan Mukatamar yang pertama di Malang, Jawa Timur. Arena muktamar dengan semangat demokrasi yang kuat kemudian memilih Mr. Mohammad Roem sebagai ketua. Tetapi, pihak pemerintah tidak menerima kehadiran Roem, karena beliau dan kawan-kawannya merupakan komponen yang sangat penting dalam tubuh partai Masyumi, sebuah partai yang dibubarkan Soekarno tahun 1960. Asisten Pribadi (Aspri) Presiden kemudian mengirimkan telegram yang mengingatkan PMI, agar konsensus dengan presiden dipegang. Akhirnya, Partai Muslimin Indonesia memilih H. Djarnawi Hadikusumo dan Lukman Harun sebagai ketua dan sekretaris jenderal partai tersebut. Tetapi, ketika menjelang diadakannya Pemilihan Umum yang pertama pada masa Orde Baru, kepemimpinan Djarnawi Hadikusumo dan Lukman Harun diambil alih oleh John Naro dan Imran Kadir atas bantuan Opsus-nya Ali Moertopo, dengan alas an: Djarnawi Hadikusumo dan Lukman Harun tidak dapat bekerja sama dengan pemerintah dan ABRI. Sebagai jalan keluar dari kemelut itu, akhirnya pemerintah menunjuk H.M.S. Mintaredja, S.H. sebagai ketua partai tersebut, yang kemudian diteruskan John Naro sampai tahun 1989.

Kasus yang sama dapat kita amati dalam rekruitmen Partai Nasional Indonesia, yang kemudian berubah menjadi Partai Demokrasi Indonesia. Ketika PNI mengadakan Kongres Nasional di Semarang, Jawa Tengah, tahun 1969, sudah hampir dapat dipastikan bahwa yang akan menjadi ketua partai tersebut adalah Hardi, S.H. Tetapi, karena Hardi dianggap tidak akan dapat bekerja sama dengan pemerintah, Opsus-nya Ali Moertopo secara langsung terlibat dalam kongres tersebut, dengan memaksa peserta kongres untuk memilih Hadisubeno, S.H. menjadi ketua. Sejak itu, rekruitmen kepemimpinan partai tersebut selalu ramai dan melibatkan pemerintah, seperti proses terpilihnya Soejardi sebagai Ketua PDI pada 1985, yang melibatkan Menteri Dalam Negeri, Soepardjo Rustam. Kemudian, kita juga mengetahui, bahwa Surjadi yang hampir secara mutlak mendapat dukungan pada Kongres PDI di Medan bulan Agustus 1993, kemudian digagalkan. Ketika partai tersebut mengadakan Kongres Luar Biasa di Surabaya pada akhir 1993, pemerintah juga terlibat secara langsung memaksa kongres memilih calon yang didukung oleh pemerintah. Hanya saja, KLB PDI menolak proses pemaksaan tersebut, dengan sepenuhnya mendukung Megawati Soekarno Putri sebagai ketua yang baru. Itu pun setelah melalui proses yang amat panjang dan melelahkan.

Bagaimana dengan rekruitmen Golongan Karya? Presiden adalah Ketua Dewan Pembina Golkar. Sehingga, boleh dikatakan bahwa presiden mempunyai hak veto untuk menentukan siapa yang akan menjadi ketua dan anggota pengurus yang lain bagi Golkar. Mekanisme Munas Golkar pada Oktober 1993 merupakan contoh konkret. Untuk pertama kalinya dalam sejarah partai tersebut ketuanya berasal dari kalangan sipil, yaitu H. Harmoko. Sementara itu, kalau kita mengamati Munas tersebut, tidak semua anggota delegasi, atau Dewan Pimpinan Daerah Tingkat I dan II menyatakan dengan tegas memilih Harmoko. Tetapi Dewan Pembina sudah menentukan siapa yang menjadi formatur pembentukan pengurus Golkar yang diketuai Menteri B.J. Habibie. Dugaan umum masyarakat yang sudah berkembang jauh sebelum Munas dilakukan, ternyata menjadi kenyataan, Harmoko terpilih oleh anggota formatur menjadi Ketua Golkar.

Barangkali, cerita tentang bagaimana keterlibatan Lembaga Kepresidenan –baik secara langsun maupun tidak (melalui sejumlah instansi tertentu di bawah presiden)- merupakan satu objek studi yang sangat menarik. Karena, spectrum keterlibatannya sangat luas. Hampir setiap rekruitmen politik, apakah dalam partai politik atau organisasi kepentingan, selalu mengkaitkan dengan Lembaga Kepresidenan. Munas (Musyawarah Nasional) Kamar Dagang Indonesia pada permulaan 1994 merupakan contoh yang sangat menarik.

Sumber: Gaffar Afan, Politik Indonesia (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1999).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar