Proses pembentukan budaya politik dilakukan denga apa yang disebut dengan sosialisasi politik. Yaitu, proses penerusan atau pewarisan nilai dari satu generasi ke generasi berikutnya. Sistem nilai, norma, dan keyakinan yang dimiliki oleh sebuah generasi dapat diturunkan kepada generasi berikutnya melalui berbagai media, seperti: keluarga, sanak-saudara, kelompok bermain, sekolah (mulai dari Taman Kanak-kanak sampai Perguruan Tinggi). Kemudian, setelah selesai pendidikan, diteruskan melalui lingkungan kerja dan ditopang oleh media yang lain, seperti: koran, majalah, radio, televisi, san lain sebagainya. Apa yang dikemukakan tersebut merupakan agent dari sosialisasi politik.
Keluarga merupakan agent pertama yang sangat menentukan pola pembentukan nilai politik bagi seorang individu. Di dalam keluarga ditanamkan bagaimana menghargai otoritas ayah dan ibi serta orang yang lebih tua; ditanamkan pula nilai-nilai atau keyakinan politik dari kedua orang tua, secara langsung atau tidak. Anak dapat mendengarkan pembicaraan orang tua mengenai partai atau organisasi yang di situ orang tua terlibat aktif, partai atau calon mana yang dipilih pada Pemilihan Umum terakhir. Anak juga dapat menyaksikan peristiwa-peristiwa politik yang diminati kedua orang tuanya. Kalau orang tuanya Golkar, tentu saja atribut Golkar seperti, symbol, tanda gambar, seragam, atau pamphlet/leaflet dari Golkar, akan nampak di rumah. Bahkan tidak mustahil rumahnya dicat kuning. Kalau orang tuanya PPP, di rumah tersebut akan diwarnai dengan atribut PPP. Begitu pula kalau orang tuanya aktivis PDI, maka warna merah dengan tanda gambar banteng akan mendominasi rumah serta atribut (topi, jaket, baju, kaos) orang tuanya. Dari sinilah nilai-nilai politik ditanamkan kepada anak.
Dalam keluarga yang berasal dari Islam Santri, tentu saja ditanamkan nilai-nilai keislaman yang sangat tinggi dengan segala atribtu yang melekat di dalamnya. Dan dari sini pula sikap orientasi politik anak terbentuk. Anak akan mendapat pelajaran politik dari saudaranya yang terdekat. Sebuah keluarga yang menekankan kepatuhan dan hormat kepada orang tua secara kental, bisa jadi akan membentuk kepribadian anak yang takut mengambil inisiatif dalam kehidupan sehari-hari. Sebaliknya, sebuah keluarga yang terbuka dan memberikan peluang kepada anak untuk ikut terlibat dalam diskusi keluarga, akan membentuk kepribadian individu dan demokratik pula.
Di luar rumah, anak akan bergaul pula dengan teman-teman yang ada disekitar rumahnya. Anak-anak di luar Jawa sudah biasa kalau pulang sekolah akan bermain di lapangan mengadu laying-layang, kemudian sore hari mengaji di surau atau langgar. Di Jawa, anak-anak juga sering di-umbar , mereka dibiarkan bermain sesuai dengan kehendak hatinya. Pada kesempatan itulah tidak jarang anak menemukan jati dirinya, termasuk semangat petualangan.
Ketika waktunya masuk sekolah, disadari atau tidak, anak pun belajar tentang nilai-nilai, norma dan atribut politik negaranya. Proses kognisi politik terbentuk semenjak anak menjadi murid Taman Kanak-kanak. Di sekolah ada gambar presiden, wakil presiden, dan tidak jarang para pemimpin yang lain. Ada pula gambar peta bumi negaranya, propinsi dan kabupatennya. Ketika memasuki Sekolah Dasar, pemahaman nilai-nilai yang bersifat kognitif mulai ditingkatkan melalui pelajaran sejarah, ilmu bumi, dan ilmu sosial lainnya. Selain itu, ada tambahan pembentuk jati diri orang lain yang sangat penting, yaitu latihan organisasi dankepemimpinan. Hal itu dilakukan dengan adanya ketua kelas, ataupun organisasi siswa di sekolahnya. Dengan organisasi, anak sudah mulai harus belajar bagaimana mengatur dan mengurus orang lain. Itulah politik.
Dengan semakin bertambahnya usia dan pengalaman, semakin bertambah pula kesempatan bagi individu untuk memperoleh sosialisasi politik yang lebih luas. Di sekitarnya terhampar sejumlah sumber pengetahuan yang lain selain sekolah, seperti media massa, termasuk TV, radio, majalah, dan surat kabar. Dia juga dapat terlibat dalam sejumlah kegiatan-kegiatan yang ada, apakah bergabung dengan organisasi kepemudaan, organisasi non-pemerintah, organisasi sosial, dan tentu saja partai politik. Bisa trjadi, nilai-nilai politik yang ditanamkan oleh kedua orang tuanya dipertentangkan dengan nilai-nilai yang diperolehnya di bangku sekolah atau masyarakat. Kemudian individu menemukan jati dirinya sendiri. Atau, bisa pula terjadi nilai-nilai yang ditanamkan oleh orang tuanya sesuai conform dengan nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat kebanyakan tempat ia berkecimpung dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan, bisa jadi nilai yang ada di masyarakat saling mengadakan reinforcing dengan nilai yang terdapat dalam keluarga.
Di lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat, anak memperoleh nilai-nilai politik. Dalam sebuah sistem di mana negara memainkan peranan yang sngat dominant, bahkan monopolistis, dalam pembentukan nilai dan norma politik, maka keyakinan dan nilai yang ditanamkan adalah keyakinan dan nilai yang diyakini oleh penguasa negara. Sementara itu, segala sesuatu yang berbeda dengan kehendak negara haruslah disingkirkan. Sebaliknya, dalam sebuah negara yang memberikan peluan kepada masyarakat untuk mandiri, akan terbentuk sebuah masyarakat yang memiliki tingkat kompetensi yang tinggi pula, yang diperlukan bagi pembentukan budaya politik yang demokratik dan stabil.
Sumber: Gaffar Afan, Politik Indonesia (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1999).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar