Sekalipun presiden –menurut Undang-Undang Dasar 1945- mempunyai kedudukan yang sama dengan beberapa lembaga tinggi Negara yang lain, seperti: DPR, DPA, BPK, dan MA, dalam kenyataannya presiden merupakan primus interpares, atau mempunyai posisi yang lebih menguntungkan, bahkan lebih penting ketimbang lembaga tinggi Negara lain tersebut. Hal ini terjadi karena presiden mempunyai kewenangan untuk mengontrol rekruitmen dalam rangka pengisian jabatan lembaga-lembaga tinggi Negara tersebut.
Anggota Majelis Permusyawaratan rakyat berjumlah 1.000 orang, yang terdiri dari 500 orang anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan 500 orang yang mewakili utusan daerah dan golongan. Diantara sejumlah 1.000 orang tersebut, mekanisme pengisian jabatannya adalah sebagai berikut:
- 400 orang dipilih melalui Pemilihan Umum.
- 200 orang diangkat langsung oleh presiden, yaitu 100 orang untuk anggota MPR yang berasal dari anggota DPR Fraksi ABRI, dan yang 100 orang lagi diangkat untuk mewakili golongan-golongan.
- 400 orang diusulkan oleh DPRD Tingkat I, setelah melalui pemilihan, dan keanggotaannya disahkan dengan surat keputusan presiden.
Pengisian jabatan lembaga tinggi negara yang lain juga dilakukan oleh presiden, sperti: Ketua dan Anggota Pertimbangan Agung, Ketua Mahkamah Agung dan Hakim-hakim Agung, serta Ketua dan Wakil Ketua Badan Pemeriksa Keuangan. Karena tidak diakuinya mekanisme checks and balances, Dewan Perwakilan Rakyat boleh dikatakan tidak memiliki kewenangan untuk mengontrol proses rekruitmen tersebut. Tentu saja, sekalipun tidak diperlihatkan dengan jelas, rekruitmen politik seperti itu merupakan cara yang paling efektif dalam rangka memberikan reward dalam arti yang luas kepada seseorang ataupun kelompok, yang akhirnya akan menentukan mobilisasi dukungan kepada presiden.
Sumber: Gaffar Afan, Politik Indonesia (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1999).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar