Total Tayangan Halaman

Jumat, 02 April 2010

KEKUASAAN KEPRESIDENAN DALAM SISTEM POLITIK INDONESIA (THE INDONESIAN PRESIDENCY)

Studi tentang kepresidenan ,asih sangat langka, karena belum ada ilmuwan politik ataupun Hukum Tata Negara yang melakukannya. Demikian juga, studi tentang Lembaga Tinggi Negara yang lain, seperti Dewan Pertimbangan Agung, Badan Pemeriksa Keuangan, dan Mahkamah Agung, masih jarang. Bagaimana peranan politik lembaga-lembaga tersebut dalam tatanan politik Indonesia? Bagaimana proses rekruitmennya dan bagaimana perwujudan kekuasaannya dalam struktur kekuasaan yang ada di Indonesia? Sampai sekarang, pertanyaan-pertanyaan ini belum ada yang mencoba menjawabnya dengan baik sesuai dengan kaidah keilmuan. Berbeda dengan studi tentang Dewan Perwakilan rakyat, sudah cukup banyak ilmuwan politik dan Hukum Tata Negara yang melakukan kajian terhadap lembaga ini, antara lain, Arbi Sanit (1985), Bintan Saragih (1992), dan Albert Hasibuan (1992).

Kelangkaan studi tentang Lembaga Kepresidenan yang dilakukan oleh kalangan ilmuwan politik itu dikarenakan oleh beberapa hal. Pertama, dalam sejarah kehidupan politimk yang sudah berjalan hampir setengah abad, Indonesia baru mempunyai dua orang presiden, yaitu Soekarno dan Soeharto. Akibatnya, para ilmuwan masih belum memiliki objek studi yang menarik. Hal ini berbeda sekali dengan studi ilmu politik di Amerika Serikta, misalnya, di mana objek yang bernama “Presidency” merupaka satu sub-bidang tersendiri yang menarik minat, baik ilmuwan Hukum maupun ilmuwan Tata Negara. Bagaimana perwujudan kekuasaan presiden, bagaimana hubungannya dengan Congress (Senate ataupun House of representative) dalam rangka mekanisme checks and balances, bagaimana karakter atau personality presiden yang satu dibandingkan dengan yang lain, serta bagaimana kebijaksanaan ekonomi, sosial politik dan luar negerinya, semua itu merupakan bahan studi yang tidak henti-hentinya dijadikan objek penelitian. Tentu saja, hal ini berkaitan dengan tersedianya dana yang snagat besar untuk melakukan penelitian ilmu politik, baik yang disediakan pemerintah maupun kalangan swatsa.

Kedua, berkaitan erat dengan struktur kekuasaan yang ada. Masyarkat ilmuwan enggan untuk melakukannya, karena hal itu menyangkut lembaga yang mempunyai kekuasaan dan sumber kekuasaan yang sangat besar dalam tatanan politik nasional. Kalau hasilnya tidak sesuai dengan interpretasi penguasa, tidak mustahil mereka yang melakuakn studi tersebut akan menghadapi konsekuensi yang kurang menggembirakan, baik dalam pengembangan karirnya maupun kehidupan sosial-politiknya dalam masyarakat.

Ketiga, berkaitan erat dengan akses kalangan ilmuwan terhadap objek itu sendiri. Karena lembaga ini baru memiliki dua orang presiden, akibatnya informasi dan data tentangnya tentu saja sangat terbatas. Sehingga, dengan demikian, jarang orang yang ingin menjadi pioner studi tentang lembaga ini. Padahal lembaga ini merupakan lembaga yang teramat penting, sampai-sampai tidak mungkin dikesampingkan sebagai bahan kajian keilmuan.


Sumber: Gaffar Afan, Politik Indonesia (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1999).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar