Total Tayangan Halaman

Sabtu, 28 November 2009

Cerpen (Nenek Imah)

Nenek Imah


Aku tergontay lemas sesampainya di depan gerbang rumahku. Ooopsss!!! Tepatnya pagar. “Oh... Home sweet home!”.
Ku banting tas ranselku ke tempat tidur. Ku rebahkan tubuhku yang serasa memikul beban berat berpuluh-puluh ton. Ku pejamkan mata masih dalam keadaan berseragam parktikum lengkap. Tenang, tenang, tenaaaaaanggggg.................... sekali rasanya!. Hhh... akhirnya aku bisa beristirahat juga, setelah setengah hari berada di kampus mengurus hal ini dan itu. Saat aku benar-benar ingin terpejam, telepon genggamku berdering hebat. Ah..........!!! Mengganggu saja.

Baru aku ingin menekan keypad answer, deringan itu berhenti. Huft...! Dasar CuMi (Cuma Miscall). Ku baringkan kembali tubuhku pada pelatarannya. Hhh... Alhamdulillah, nikmat sekali rasanya.

“Tok... Tok...” ketukan pintu rumahku mengguncang kembali peristirahatanku. Malas sekali rasanya menengok siapa gerangan di liang pintu rumahku. Mengapa di saat-saat seperti ini tak ada seorang pun di rumah? Sehingga ada saja yang mengganggu waktu istirahatku seperti ini.

Ku buka pintu malas-malas. Dengan diiringi jawaban salamku atas ucapan salam dari sang tamu. Aku terkejut. Ku dapati Nenek Imah berdiri di liang pintu.

“Nek Imah?? Ada apa Nek?”. Nenek Imah tersenyum lebar melihatku. Hmm... kiranya apa yang membuat sang Nenek yang telah ‘reyot’ ini, si tua yang mungkin mudah ‘terhempas’ angin, berkunjung ke rumahku tengah hari seperti ini.

Ku lihat lamat-lamat, Nenek Imah mengurut-urut kakinya. Ya, tentu saja! Rumah kediaman Nenek Imah cukup jauh dari rumahku. Si tua ini? Ah... Tak sanggup aku membayangkan ia berjalan sendirian untuk berkunjung ke rumahku. Ada apa sebenarnya?.

Ku tuntun perlahan Nenek Imah ke bangku teras rumahku. Jalanan lengang diterpa terik matahari yang begitu menyengat. Jam baru menunjukkan pukul setengah dua siang.

“Ku buatkan minum sebentar yah Nek...”. Ku tinggalkan Nenek Imah sejenak ke dapur untuk membuat teh hangat. Ya, si tua itu pernah meberitahuku, ia begitu menyukai teh hangat.

“Silahkan di minum tehnya Nek!”. Nenek Imah tersenyum. Ku perhatikan perlakuan Nenek Imah yang tak biasa. Rasanya, ada yang berbeda. Si tua yang dulu ku kenal saat ku temui ia di sebuah taman, di saat ia tengah terengah-engah hendak pulang ke rumah itu, dulu masih cukup bugar. Aku masih ingat betul, waktu itu adalah pertemuan pertama kami. Semenjak aku mengantarnya ke rumahnya, kami menjadi akrab. Teriris rasanya hatiku, saat aku mengetahui, si tua itu bersemayam sendiri di rumahnya yang juga sederhana seperti rumahku. Tak terbayang rasanya, setua itu, ia harus mengurus dirinya sendiri. Bahkan, saat ia benar-benar seharusnya membutuhkan seseorang di sampingnya, ia tetap sendirian. Sempat terdengar olehku ucapannya yang pelan waktu itu, ia mengatakan bahwa ia sangat menyayangiku, ia tengah menganggapku sebagai cucunya sendiri. Ah... Nek Imah, iba sekali rasanya diriku ini melihat keadaanmu.

“Nek Imah ada perlu apa sampai datang ke rumah Cindy siang-siang begini? Bukankah lusa Cindy akan ke rumah Nenek... Atau Nenek lupa yah? Hahaha...”. Sedikit guyon ku lontarkan pada si tua ini. Ya, Nenek Imah memang sudah pikun. Aku rutin mengunjunginya setiap hari. Tetapi, semenjak mulai sibuk dengan tugas kuliah, aku tak teratur mengunjunginya. Sudah 5 hari ini aku tak mengunjunginya. Walaupun begitu, sesibuk apapun diriku, setiap hari minggu aku tak pernah abstain mengunjunginya. Dan hari minggu itu masih dua hari lagi.

Nenek Imah masih asik tersenyum. Ah... Senyum si tua itu! Sungguh membuat diriku semakin teriris. Senyum yang dimilikinya benar-benar indah, namun hampir tak tampak lagi keindahannya dimakan usia.

Aku tersentak memperhatikan wajah Nek Imah yang semakin sendu. Senyumku pun mulai pudar saat ku perhatikan mata Nek Imah begitu kosong.

“Nek Imah! Apakah Nenek sakit?”. Tanyaku penuh kepanikan.
Nek Imah menggeleng lembut. Lalu tersenyum lagi. Aku semakin heran. Aku benar-benar khawatir si tua yang ku sayangi layaknya Nenekku sendiri ini akan roboh dimakan penyakit.

“Nenek bilang saja sama Cindy kalau memang sakit...”. Sekali lagi, Nek Imah menggeleng, lalu tersenyum lebar.

Nek Imah meneguk teh yang kubuatkan. Tak ada gemetar lagi ditangannya saat ia mengangkat cangkir itu. Hmm... Ku rasa Nek Imah baik-baik saja. Tapi, ah! Ku rasa tidak juga, ada yang berbeda dari dirinya.

Baru ingin ku tanyakan lagi apa tujuan Nek Imah datang ke sini seusai ia meneguk habis tehnya, suara tahlil terdengar tidak jauh dari rumahku.

Ku lihat dirombongan paling depan, sang pemimpin, Pak Ustadz Harun menoleh ke arahku dengan senyumnya sambil terus bertahlil.

“Sedang apa Nak Cindy sendirian di sana? Baiknya Nak Cindy ikut kami memulangkan jenazah Nek Imah”.

Tubuhku seketika merinding hebat. Aku menoleh ke arah tempat Nek Imah duduk. Ah...! Kemana Nek Imah?. Ah...! Teh yang tadi diteguknya habis, masih utuh! Secangkir penuh! Rasanya tubuhku sebentar lagi akan ambruk. Belum sempat tubuhku ambruk, suara tahlil itu berderu semakin kencang ditelingaku. Ku lihat berduyun-duyun empat orang tetanggaku menggotong keranda. Terpampang jelas di sebuah bendera kuning.
Innalillahi wa inna ilaihi roji’un...
Siti Halimah Binti Mar’ud Bin Afh’an.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar