Total Tayangan Halaman

Sabtu, 28 November 2009

Cerpen (Bunda Juga Boleh Punya Mimpi)

Bunda Juga Boleh Punya Mimpi.


Aku terus asik memandang layar monitor komputer kesayanganku (karena ia tempat pelampiasan ku membuang jenuh). Aku terhenyak seketika saat pintu kamarku yang sengaja seharian ini ku tutup demi menjauhkan gangguan dari adikku, terketuk dahsyat.
“Cin... Cin...! Buka nak!”. Aku bergegas meraih selot pintu kamarku, lalu membukanya.
“Kenapa sih Bun...? Sampai kaget aku Bun...”
“Hhh... Cin, Bunda mau minta tolong sama kamu”
“Minta tolong apa Bun? Darurat sekali rasanya!”
“Tolong beli gas di warung yah nak! Gas kita sudah habis, Bunda lagi masak nak, tanggung kan kalau harus tunggu Ayah pulang”. Aku ternganga, sebegitukah paniknya jika gas habis?. Lalu aku terkekeh sejadi-jadinya. Ya, begitulah Bundaku, bagiku ia amat lucu. Bahkan, ia amat teramat sangat lucu, dibandingkan badut-badut dimanapaun. Begitu pula kelucuannya yang tak pernah hilang dan tak pernah habis seperti rasa sayangku padanya.


“Sepertinya kamu makin asik nih sama komputer? Tugas terus yah?”
“Ah Bunda! Ngga’ kok, aku cuma iseng aja nerusin novelku Bun...” jawabku santai sambil terus asik menguyah dan melahap bakwan jagung buatan Bunda yang super lezat.
“Tu kan, ketahuan! Cin, kamu tuh! Akh, bukannya kamu serius sama studi, malah nerusin novel ga’ jelas kamu itu terus!”
“Ya Allah Bun, Bunda tenang aja kali, kan aku nerusin novel ini kalau aku sudah menyelesaikan tugasku Bun...”
“Iya Bunda tahu, dan percaya. Tapi nak, kelak kamu akan semakin asik dengan novelmu, lalu kamu lupa sama tugas-tugasmu”. Bunda mulai menaikkan nada bicaranya. Aku yakin, Bunda mulai serius. Aku berusaha memilah kata demi kata agar Bunda yakin bahwa aku tak akan mengabaikan studiku hanya karena novelku yang mungkin tidak berbobot ini untuk orang lain, namun amat berarti bagiku.
“Bun, Bunda pokoknya tenang saja ya... Aku janji kok Bun, aku ngga’ akan lupa sama studiku. Lagian Bun, novel ini kan benar-benar impianku, impianku agar dapat menjadi panelis, Bun!”.
“Bunda ngerti nak, tapi yah kamu juga harus ngertiin Bunda yah! Bunda rela melakukan apa saja yang penting halal demi studi mu! Rela nak, kepala jadi kaki, kaki jadi kepala! Itu lho pepatahnya orang Jawa...”. Aku mengangguk dahsyat sambil mengumbar senyum manjaku pada Bunda. Sepertinya Bunda terpengaruh oleh senyum dahsyatku, luluh.
“(Menghela napas) Yah, Bunda do’akan apa yang kamu impikan dapat tercapai nak, ingin menjadi panelis yah? Ck...ck...ck... Ada-ada saja kamu ini! Dulu juga kamu ngotot ingin menjadi pelukis terkenal, sampai setiap hari kerjanya menggambar terus. Lalu menjadi designer, tiada hari tanpa menjahit baju-baju barbie-barbiemu. Terus jadi akuntan sampai Bunda kuliahkanmu di jurusan akuntansi, sekarang lah kamu ingin jadi panelis? Hmm... ada-ada saja kamu nak!”. Bunda mengusap-usap rambutku lembut.

“Tapi yah, Bunda juga boleh kan punya mimpi seperti kamu? Bunda tuh kepingin kelak anak Bunda mendapat kehidupan yang jauh lebih baik dari Bunda! Bahagia dunia akhirat lah pokoknya! Bunda ingin lihat anak Bunda di wisuda, memakai toga! Bunda ingin melihat dibelakang namamu itu lho ada gelar sarjananya! Biar bisa Bunda banggakan ke orang-orang walaupun Bunda hanya bisa menguliahkan kamu dan kakakmu sampai jenjang S1! Yah, impian Bunda tidak banyak kan nak, jadi tolong, wujudkan impian Bunda yah!”. Bunda tersenyum merekah seusai ‘kenyang’ mengusap-usap kepalaku. Hatiku dingin, seperti ada sebongkah es yang betah bersemayam di dalamnya. Air mataku jatuh menetes saat Bunda meninggalkan kamarku. Aku yakin, sepanjang ocehan Bunda tentang impiannya tadi, masih lebih panjang lagi do’a yang ia lontarkan dalam hatinya, dalam sholatnya. Ah... memikirkan dan membayangkannya membuat air mataku ingin keluar dari persembunyiannya terus hingga tak ada ujung lagi tempat mengalirnya, begitu panjang, begitu lapang, layaknya kasih sayang Bunda padaku. Beliau, setua itu, serentan itu, kulitnya mulai malas untuk mengencangkan dirinya hingga mengendur, rambutnya mulai enggan menjaga kekelamannya hingga putih bersih, tenaganya mulai suntuk memikul beban, dan... dan... dan... Ah...............!!!!! Aku tak sanggup lagi mengutarakannya. Di usianya yang setua itu, ternyata ia masih memiliki mimpi-mimpi kecil dalam hidupnya yang begitu besar artinya untukku melaksanakannya.

~Misscupu caiiand Mama~
^I Luph U Pull Mama^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar