Konsep budaya politik baru muncul dan mewarnai wacana ilmu politik pada akhir Perang Dunia II, sebagai dampak perkembangan politik Amerika Serikat. Sebagaimana banyak diungkapkan oleh banyak kalangan ilmuwan politik, setelah PD II selesai, di Amerika Serikat terjadi apa yang disebut revolusi dalam ilmu politik, yang dikenal sebagai Behavioral Revolution, atau ada juga yang menamakannya Behavioralism. Terjadinya Behavioral Revolution dalam ilmu politik adalah sebagai dampak dari semakin menguatnya tradisi atau madzhab positivisme, sebuah paham yang percaya bahwa ilmu sosial mampu memberikan penjelasan akan gejala sosial seperti halnya ilmu-ilmu alam memberikan penjelasan terhadap gejala-gejala alam, dalam ilmu sosial, termasuk ilmu politik. Paham ini sangat kuat diyakini oleh tokoh-tokoh besar sosiologi, seperti Herbert Spencer, August Comte, juga Emile Durkheim. Paham positivisme merupakan pendapat yang sangat kuat di Amerika Serikat semenjak Charles E. Merriam mempeloporinya di Universitas Chicago, yang kemudian dikenal sebagai The Chicago School atau Madzhab Chicago, yang memulai pendekatan baru dalam ilmu politik (Somit and Tannenhaus, 1967; Almond and Verba, 1963; Almond, 1990).
Selain itu, salah satu penopang lainnya Behavioral Revolution ini adalah muncul dan berkembangnya kecenderungan baru dalam dunia penelitian, yaitu kecenderungan untuk mengadakan penelitian survey (survey research). Penelitian ini dapat menjangkau responden dalam jumlah yang sangat besar, guna memahami sikap, orientasi, dan perilaku dlaam kalangan masyarakat disertai latar belakang sosial, ekonomi, dan politiknya. Biasanya, penelitian survey ini banyak dilakukan oleh mereka yang terlibat dalam usaha menelusuri opini publik dalam rangka pemilihan presiden, senator, dan gubernur di Amerika Serikat. Oleh karena itu, tidak heran kalau di Amerika Serikat kemudian muncul sejumlah lembaga peneliti opini publik dengan mengadakan pengumpulan pendapat atau yang dikenal sebagai public opinion poll, seperti misalnya Gallup Poll, Haris Poll, dan biasanya mereka bekerja sama dengan media massa yang ada, seperti radio, jaringan TV (seperti ABC, CBS, NBC, dan kemudian CNN) dan lain-lain. Sejalan dengan itu, di Amerika Serikat muncul pula sebuah revolusi baru dalam bidang teknologi dan rekayasa, yaitu ketika ditemukannya teknologi komputer. Dengan bantuan komputer, analisis dapat dilakukan dalam waktu yang singkat dan mencakup jumlah yang tak terbatas. Kalangan ilmuwan memperoleh kemudahan yang sangat berarti dalam menganalisis data, dan dengan bentuk analisis statistic yang sangat kompleks atas bantuan komputer. Maka, kalangan ilmuwan mampu memberikan penjelasan-penjelasan, terlibat dalam model building dalam memahami masalah sosial, ekonomi, dan politik.
Salah satu dampak yang menyolok dari behavioral revolution ini adalahmunculnya sejumlah teori, baik yang bersifat grand maupun pada tingkat menengah (middle level theory). Kemudian, ilmu politik diperkaya dengan sejumlah istilah, seperti misalnya sistem analysis, interest aggregation, interest articulation, political socialization, politic culture, conversion, rule making, rule application, rule adjudication, dan lain sebagainya.
Teori tentang buaday politik merupakan salah satu bentuk teori yang dikembangkan dalam memahami sistem politik. Teori tentang sistem politik yang diajukan oleh david Easton, yang kemudian dikembangkan pula oleh Gabriel Almond, ini mewarnai kajian ilmu politik pada kala itu (1950-1970). Dan di antara kalangan teoretisi dalam ilmu politik yang snagat berperanan dalam mengembangkan teori kebudayaan politik adalah Gabriel Almond dan Sidney Verba, ketika keduanya melakukan kajian di lima negara yang kemudian melahirkan buku yang sangat berpengaruh pada 1960-an dan 1970-an, yaitu The Civic Culture. Civic Culture inilah yang menurut Almond dan Verba merupakan basis bagi budaya politik yang membentuk demokrasi.
Budaya politik, kata Almond dan Verba, merupkana sikap individu terhadap sistem politik dan komponen-komponennya, juga sikap individu terhadap peranan yang adapat dimainkan dalam sebuah sistem politik (1963, H. 13). Budaya politik tidak lain daripada orientasi psikologis terhadap objek sosial, dalam hal ini sistem politik kemudian mengalami proses internalisasi ke dalam bentuk orientasi yang bersifat cognitive, affective dan evaluative.
Orientasi yang bersifat cognitive menyangkut pemahaman dan keyakinan individu terhadap sistem politik dan atributnya, seperti tentang ibukota negara, lambing negara, kepala negara, batas-batas negara, mata uang yang dipakai, dan lain sebagainya. Sementara itu, orientasi yang bersifat affective manyangkut ikatan emosional yang dimiliki oleh individu terhadap sistem politik. Jadi, menyangkut feelings terhadap sistem politik. Sedangkan oientasi yang bersifat evaluative menyangkut kapasitas individu dalam rangka memberikan penilaian terhadap sistem politik yang sedang berjalan dan bagaiman peranan individu di dalamnya.
Dengan sikap dan orientasi seperti itu, kemudian terbentuklah budaya politik yang berbeda. Dalam sebuah masyarakat yang sikap dan orientasi politiknya didominasi oleh karakteristik yang bersifat cognitive akan terbentuk budaya politik yang parochial. Sementara dalam sebuah masyarakat yang sikap dan orientasi politiknya diwarnai dengan karakteristik yang bersifat efektif, akan terbentuk budaya politik yang bersifat subjective. Akhirnya, masyarakat yang memiliki kompetensi politik yang tinggi, di mana warga masyarakat mampu memberikan evaluasi terhadap proses politik yang berjalan, akan terbentuk sebuah budaya politik yang bersifat partisipatif.
Sumber: Gaffar Afan, Politik Indonesia (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1999).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar