Sebenarnya, sangat sulit untuk melakukan identifikasi buaday politik Indonesia, karena atributnya tidak jelas. Akan tetapi, satu hal yang barangkali dapat dijadikan titik-tolak untuk membicarakan masalah ini adalah adanya sebuah pola yang dominant, yang berasal dari kelompok etnis yang dominant pula, yaitu kelompok etnis Jawa. Etnis ini sangat mewarnai sikap, perilaku, dan orientasi politik kalangan elite politik di Indonesia. Oleh karena itu, katika Claire Holt, Benedict Anderson, dan James Siegel menulis Political Culture in Indonesia, pembicaraan awal yang dikemukakan adalah menyangkut konsep kekuasaan dalam masyarakat Jawa. Menurut analisis Anderson, konsep tentang kekuasaan dalam masyarakat Jawa berbeda sekali dengan apa yang dipahami oleh masyarakat Barat. Karena, bagi masyarakat Jawa, kekuasaan itu pada dasarnya bersifat konkret, besarannya konstan, sumbernya homogen, dan tidak berkaitan dengan persoalan legitimasi. Hal itu berbeda dengan masyarakat Barat, di mana kekuasaan itu bersifat abstrak dan berasal dari berbagai macam sumber, sseperti uang, harta kekayaan, fidsik, kedudukan, asal-usul, dan lain sebagainya. Kareena kekuasaan itu berasal dari sumber yang satu, maka sifatnya konstan. Dan selama sumber kekuasaan itu tetap memberikan kekuasaan, maka kekuasaan seorang penguasa akan tetap legitimate dan tidak perlu dipersoalkan.
Masyarakat Jawa, dan sebagian besar masyarakat lain di Indonesia, pada dasarnya bersifat hierarkis. Stratifikasi sosial bukan didasarkan atas atribut sosial yang bersifat materialistic, tetapi lebih pada akses kekuasaan. Ada pemilahan yang tegas antara mereka yang memegang kekuasaan, yang kuga disebut sebagai kalangan priyayi, dan rakyat kebanyakan. Hal itu diperlihatkan dengan cara berekspresi malelui bahasa dan gesture atau pola memperlaihatkan mimik/perilaku, yang diwujudkan lewat bahasa. Bahasa Jawa sendiri terdiri dari beberapa tingkatan, mulai dari kromo inggil, kromo madya, sampai ngoko. Atau, yang halus, setengah halus, dan kasar. Kalangan rakyat kebanyakan harus membahsakan atau mengekspresikan dirinya dalam bahasa yang halus kepada kalangan pemegang kekuasaan. Sebaliknya, kalangan pemegang kekuasaan dapat memegang bahasa yang kasar kepada rakyat kebanyakan. Pemilahan antara penguasa dan rakyat menjadi tegas, yang kemudian diungakapkan dengan istilah wong gedhei dan wong cilik.
Implikasi dari pola pemilahan seperti ini adalah, kalangan birokrat seringkali menampakkan diri dengan self-image atau citra-diri yang bersifat benevolent, yaitu dengan ungkapan sebagai pamong praja yang melindungi rakyat, sebagai pamong atau guru/pendidik bagi rakyatnya. Kalangan penguasa harus menampakkan diri sebagai kelompok yang pemurah, baik hati, dan pelindung dari seluruh rakyatnya. Akan tetapi, sebaliknya kalangan penguasa memiliki persepsi yang merendahkan rakyatnya. Karena para pamong sudah sangat baik, pemurah dan pelindung, maka sudah seharusnya rakyat patuh, tunduk, setia, dan taat kepada penguasa negara. Pembangunan yang dijalankan selama ini bukan dilakukan oleh rakyat. Tetapi, yang membangun adalah pemerintah, sebagai perwujudan dari kebaikan hati atau benevolensi kalangan penguasa. Oleh karena itu, tidak pada tempatnya rakyat tidak patuh, tidak tunduk, dan tidak setia, apalagi memprotes kegiatan pemerintah. Pemerintah adalah yang paling tahu. Sementara, rakyat tidak tahu apa-apa. Oleh karena itu, mereka harus ditatar melalui berbagai penataran.
Adapun implikasi negative dari citra-diri seperti itu dalam kebijaksanaan public. Kebijaksanaan public merupakan domain atau kompetensi sekelompok kecil elite yang ada di Jakarta atau di ibukota propinsi. Yang membentuk semua agenda public, juga yang memformulasikan kebijaksanaan public adalah kalangan pemerintah, baru kemudian disesuaikan dan disahkan oleh DPR. Rakyat memperoleh proses alienasi, bahkan tersisihkan dari proses politik. Tidak ada diskusi publik, mengapa kebijaksanaan itu harus ditempuh? Apakah memang perlu? Akan tetapi, ketika kebijaksanaan public itu sampai pada tahap implementasi kebijaksanaan, rakyat diwajibkan untuk ikut terlibat di dalamnya. Hampir smeua Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah dibentuk melalui proses seperti itu. dan yang lebih menarik lagi untuk diperbincangkan adalah: berapa banyak kewenangan yang diberikan kepada pemerintah dengan Undang-Undang, karena Undang-Undang tersebut kemudian harus diwujudkan dengan Peraturan Pemerintah, Surat Keputusan Presiden, Instruksi Presiden, Surat Keputusan Menteri, Instruksi Menteri, sampai ke tingkat pemerintahan yang lebih rendah melalui Surat Keputusan Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I, dan Surat Keputusan Bupati/Kepala Daerah Tingkat II. Contoh konkret akan hal ini snagat banyak, sehinggabhampir tidak mungkin kita ungkapkan satu per satu. Misalnya, kebijaksanaan tata niaaga cengkeh, tata niaga jeruk, penggunaan urea tablet, mobil nasional, seragam sepatu siswa, wajib nonton Sea World, danlain sebagainya. Sementara itu, kita semua mengetahui, bahwa kebijaksanaan tersebut membebeani rakyat dan menguntungkan segelintir penguasa yang mampu memperoleh akses terhadap kalangan penguasa.
Sumber: Gaffar Afan, Politik Indonesia (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1999).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar