Total Tayangan Halaman

Jumat, 02 April 2010

STATUS PEKERJA “BERKERAH BIRU” DAN PEKERJA “BERKERAH PUTIH”

Istilah “kerah biru” (blue collar) dan “kerah putih” (white collar) mulai digunakan pada saat para pekerja tangan mulai memakai baju biru, sedang para pekerja kantor dan orang-orang profesional hanya mengenakan baju berwarna putih. Meskipun mode warna pakaian telah menagalami perubahan, namun istilah itu masih tetap digunakan sebagai lambing kelas sosial pekerja dan kelas sosial menengah. Penghasilan yang bersumber dari jenis pekerjaan kasar dan jenis pekerjaan halus dewasa ini sangat bertumpang-tindih. Penghasilan tertinggi (di antara beberapa tingkat penghasilan yang ditunjukkan) adalah yang diperoleh para pekerja yang berketrampilan dan penghasilan yang terendah adalah yang doperoleh oleh para pekerja administrasi, sedangkan penghasilan tenaga penjual berada di antara keduanya. Sebuah studi yang bartu-baru ini dilakukan menemukan bahwa seperdua dari seluruh pekerja administrasi danbahkan lebih dari seperdua dari seluruh pekerja trampil (58 persen) menempatkan diri mereka pada “kelas sosial pekerja” atau “golongan miskin” (Jackman and Jackman, 1982|). Dengan demikian, jelaslah bahwa batas-batas antara kelas sosial rendah menjadi kabur, sehingga pembagian yang membeda-bedakan “pekerja berkerah biru” dan “pekerja berkerahputih” bukan lagi petunjuk yang bisa dipercaya.

Beberapa orang berpandangan bahwa pekerja “berkerah putih” sedang mangalamai proses “proletarianisasi”, yakni bahwa mereka sementara menyerap sikap dan perilaku yang dianggap sebagai sikap dan perilaku yang khas dari pekerja “berkerah biru” (Braver,an, 1974; Wright; dkk., 1982). Studi-ulang “Middletown”, yang baru-baru ini dilakukan, melaporkan bahwa orang-orang kelas sosial menengah tampak lebih menyerupai “kelas sosial pekerja” dalam segi sikap dan gaya hidup antara tahun 1937 dan 1978 (Caplow, Bahr, dan Chadwick, 1981). Upaya penggabungan diri dari serikat kerja (unionisasi), yang semakin luas diterima oleh parea pekerja “berkerah putih”, dapat dikatakan sebagai bukti adanya proses “proletarianisasi” kelas sosial menengah.

Apakah proses semacam itu benr-benar sedang berlangsung diperdebatkan (Kelly, 1980). Pandangan yang berlawanan menyatakan bahwa kelas sosial pekerjalah yang sedang mengalamai proses “borjuisasi”, dan gaya hidup kelas sosial menengah (borjuis) (Goldthrope dan Lockwood, 1963, hal. 133). Beberapa studi yang dilakukan belakangan ini juga menyatakan bahwa dikalangan para pekerja “berkerah biru” terdapat perkembangan identifikasi diri sebagai kelas sosial menengah (Cannon, 1980).

Para sarjana bisa saja memperdebatkan apakah kelas sosial pekerja yang sedang mengalami proses “borjuisasi” ataukah kelas sosial menengahlah yang sementara mengalami proses “proletarianisasi”. Terlepas dari itu, kenyataannya gaya hidup kedua kelas sosial itu semakin mendekati persamaan. Kebanayakan ahli sosiologi sependapat dengan “teori konvergensi” ini bahwasanya kelas-kelas sosial semakin memiliki persamaan dalam segi gaya hidup (Blumberg, 1980). Meskipun demikian, beberapa perbedaan nyata masih tampak.


Sumber: Horton B Paul, Chester L Hunt, Sosiologi (Jakarta, Penerbit Erlangga, 1999).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar