Sahabat
Aku masih ingat, seminggu yang lalu ia masih tersenyum riang padaku. Mulutnya tak bisa berhenti, ada saja yang ingin ia ceritakan padaku. Telinga dan otakku sampai mual mendengar curhatannya yang tiada henti-hentinya setiap hari. Tapi, 2 hari ini ia tak masuk. Apa mungkin ia masih marah padaku?. Apa sebaliknya? Ia takut aku yang marah padanya. Ya Allah… aku harus bagaimana?.
“Wulan, mau ikut ga ke rumah Sinta?” ajak Maya menghentikan langkahku. Aku bingung. Apa aku harus menuruti ajakannya ini. Apa reaksi Sinta jika ia melihatku nantinya.
“Ga’ hari ini deh… Aku ada urusan”. Oh… maafkan aku sobat. Baru saja aku keluar gerbang sekolah. Ibnu sudah menstater motornya.
“Ibnu??” ucapku terperangah
“Makin manis aja kamu Lan! Yuk cepet naik, panas nih…”. Entah mengapa tiba-tiba saja Ibnu menjemputku. Tanpa segan aku banting tubuhku perlahan pada jok motornya.
“Mau langsung pulang, atau…” godanya
“Ke Mall dulu yuk?” pintaku tanpa segan. Ibnu menancap gasnya dengan cepat. Seperti ingin mengantar istrinya yang sudah pembukaan delapan. Oh Ibnu… kenapa hari ini engkau menjemputku?.
Sangat tidak enak rasanya panas-panas begini macet. Naik motor pula!. Sekilas kami melalui angkot yang di naiki Maya. Aku tersenyum padanya.
* * *
Tak ku sangka Sinta masuk hari ini. Aku langsung memburu teman sebangkuku itu. Baru saja aku meletakkan tasku, Sinta ngeloyor keluar kelas. Aku terperangah ditempat, aku bingung. Jam pelajaran pertama guru tak datang. Aku mencoba menegur Sinta yang sedari pagi belum menyapaku.
“Hai Sin… kamu sudah sembuh?” sapaku memulai pembicaraan. Sinta hanya tersenyum.
“Sin, kenapa sih? Aku salah apa sama kamu? Kenapa kamu ngediemin aku gitu? Selama kamu ga’ masuk, kamu juga ga’ pernah bales SMS-ku?”
“Aku lagi ga’ punya pulsa Lan…” jawabnya datar
“Ga’ punya pulsa? Biasanya kamu kalo lagi ga’ punya pulsa, kamu minta pulsa sama Ayah atau Bunda kamu? Apa pulsa kalian habis berjamaah?” tanyaku penuh rasa curiga
“Ga usah posesif deh Lan, kamu kan bukan pacarku” tetap datar.
“Dan kamu pun bukan Ibnu!” sedikit menaikkan nada bicaranya. Aku tahu, itu bukan nada biasa, melainkan nada sindiran. Aku hanya diam dan diam. Aku bingung harus bagaimana. Aku tahu apa kunci masalah dari semua ini. Ibnu.
“Ayo kita selesain masalah ini!” aku menarik tangan Sinta menuju gudang sekolah. Sepi. Itulah tempat yang tepat.
“Sin… Ibnu yah masalah kamu?”. Sinta hanya membuang muka. Jutek sekali parasnya. Aku ini seperti musuhnya saja.
“Sin, jawab!!!” pintaku mengguncang-guncangkan pundaknya
“Kamu pikir aja Lan! Ibnu itu mantanku! Aku baru putus seminggu sama dia, kamu udah berani jalan sama dia, apa yang ada di otak kamu??!!” cetusnya geram
“Sin, maksud kamu apa? Kamu pikir aku ngambil Ibnu, gitu?”
“Ga’ usah nyangkal! Kemarin pun kamu jalan kan sama dia? Padahal Maya udah nyoba ngajak kamu untuk jenguk aku? Tega kamu yah?”
“Kamu salah paham Sin…”
“Salah paham apa? Aku udah dua kali ngeliat dengan mata kepalaku sendiri kamu jalan sama Ibnu, terus aku dapet laporan dari Maya juga Lan… Kamu mau nyangkal apa lagi??
“Dan, di saat seorang sahabat sakit, justru kamu malah enak-enakan jalan sama mantanku!
“Sahabat apa kamu ini??!!” semakin lirih nadanya. Namun sungguh, sungguh, kata-kata itu menusuk dalam hatiku.
“Ga’ usah munafik!!”. Ya Tuhan… begitu dahsyatnya kata-kata itu semakin menusuk hatiku ini. ‘Munafik’, seperti itu kah aku?.
“Bukannya… kamu yang munafik?” ucapku lirih tak berani menatap sahabatku itu
“Maksud kamu??!!” tanya Sinta geram
“Bukankah aku yang terlebih dulu suka pada Ibnu?” aku merunduk.
Sinta terdiam.
“Bukankah aku yang mengenalkanmu pada Ibnu?” air mataku mulai berlinang perlahan, namun pasti.
“Bukankah kamu waktu itu tahu bagaimana perasaanku pada Ibnu?”. Sinta makin membuang mukanya.
“Bukankah kamu pun tau betapa semangatnya dan gencarnya aku dikala menceritakan apapun tentang Ibnu?” suaraku semakin serak. Lirih, aku merasakan suaraku lirih. Sangat lirih. Sungguh aku tidak mengerti, mengapa aku selirih ini.
“Kamu kan sahabatku Sin, tapi saat itu kamu seperti musuhku. Dan kamu kan tahu Sin, aku membiarkanmu mencintai Ibnu sepenuh hatimu. Aku mengorbankan perasaanku! Aku korbankan itu demi sahabatku. Tapi mengapa saat ini kamu begitu marah padaku saat tahu aku jalan sama Ibnu? Padahal dulu kamu ga’ peduli bagaimana perasaanku. Begitu sakit! Sakit Sin!!!” aku berlari meninggalkan Sinta dengan isak yang menemaniku. Sinta hanya terpaku. Sepertinya ia tak beranjak. Entah apa yang ia pikirkan. Entahlah, mungkin sebuah penyesalan, atau mungkin beribu kesal. Aku tidak tahu jelas dan pastinya. Yang aku tahu hanya satu, Sinta adalah sahabatku, sahabat terbaikku. Masih sampai detik ini. Entah bagaimana dipelosok hatinya. Entah masih adakah gelar sahabat itu untukku. Aku tidak peduli, dan mencoba untuk tidak peduli saat ini. Oh Tuhan… seperti inikah persahabatan kami? Aku menyayangi Sinta, tapi aku mencintai Ibnu. Bahkan Sinta tahu akan hal itu sedari awal. Sebenarnya seperti apakah persahabatan itu dimatanya??.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar