Mimpi untuk Bunda
Langit-langit di kamarku masih tetap terlihat putih sejak aku menatapnya setengah jam yang lalu. Berat rasanya beban hati yang tengah ku tanggung ini. Mungkin, tak seberat beban yang Bunda tanggung. Sekerlip aku memejamkan mataku, rasanya beban itu semakin bertambah. Begitu seterusnya sampai mungkin aku benar-benar tertidur pulas.
“Cin...”. Bunda membuyarkan lamunanku. Bunda tengah bertengger di liang pintu kamarku.
“Kenapa Bun...?” tanyaku tersingkap dari ranjangku.
“Besok kamu masih punya ongkos nak?”
“Mmm... Sebentar Bun, Cindy cek dulu.” Aku merangsek dompet dalam tasku. Hanya ada satu lembar uang merah, bukan seratus ribu, tapi sepuluh ribu.
“Sepuluh ribu Bun...”
“Hhh... Tidak cukup yah untuk besok?”
“Sepertinya tidak Bun, aku harus nge-print tugas. Tidak ada uang sisa untuk Cindy Bun?”
“Hmm... Ada... Sebentar Bunda ambil dulu.”. Aku tahu, Bunda mengada-ada tentang uang itu. Aku yakin, saat Bunda memasuki kamarnya, ia hanya akan terduduk diam menatap dompetnya yang hanya berisi uang untuk ongkos kerjanya saja esok hari. Seperti dugaanku pula, Bunda akan kembali ke kamarku dengan selembar uang merah lagi ditangannya.
“Bunda ada ongkos tidak?”
“Ada. Tenang saja nak.”. Bunda meninggalkanku beserta senyumnya yang terasa menamparku di kamarku. Ya, aku tahu, senyum itu, senyum itu adalah senyum kepahitan. Aku berbaring lagi, memutar otakku sekeras-kerasnya. Berusaha untuk mencari ide yang membuahkan ‘emas’. Ya! Aku tahu! Aha! Benar, benar! Aku tahu caranya!. Aku terlonjak membanting tubuhku ke depan meja komputer di dalam kamarku. Semangatku menggebu-gebu menyalakannya. Aku berusaha sabar menunggu loading komputerku yang selalu mebuatku mual. Komputerku lola-nya bukan main. Aku berusaha sabar membuka file-ku yang amat berharga, file novel ku yang usang. Yang aku pikirkan saat ini adalah, aku harus bisa menjual novelku ini. Tapi... Aku sama sekali tidak berpengalaman akan hal ini. Ini pun novel pertamaku. Sudah tiga tahun file ini menjamur dalam RAM komputerku. Kali ini, aku harus benar-benar menyelesaikannya. Secepatnya, lalu menjualnya. Hasilnya akan aku berikan separuh pada Bunda, setidaknya dapat menolong keuangan Bunda untuk beberapa bulan ini, sisanya aku tambahkan RAM komputerku lagi agar tak lola, lau sisanya lagi aku belanjakan keperluan pribadiku, lau sisanya lagi... Ah! Rasanya takkan bersisa jikalau novel ku ini laku. Ya, aku yakin, novel ini akan laku dipasaran, karena aku tahu, novelku ini sangatlah menarik, terutama untuk kaula muda. Pasti akan laku! Pasti akan membuahkan hasil! Pasti aku bisa menolong Bunda dalam krisis ini! Pasti!.
Kantuk dalam diriku rasanya tak tertahankan. Jika mataku ini bisa berbicara, pasti aku akan mual mendengar ocehan kantuknya. Tapi, tapi, tapi... Ah...! Huaaahhhh…!. Tapi aku harus serius menyelesaikan novel ini. Setidaknya dalam satu minggu telah selesai. Tak bosan jariku menari-nari di atas keyboard. Ya, sudah 78 lembar A4. Ya, 112 lembar. Ah... Rasanya cukup, 178 lembar A4. Yang ku tahu, penerbit hanya akan menerima minimal 100 lembar HVS A4. Dan, kurasa ini lebih dari cukup.
Aku bergegas ke sebuah alamat yang kudapati dari internet. Salah satu penerbit terkemuka di Indonesia. Sehabis pulang kuliah, masih dengan seragam praktikumku yang rapih, aku merangkul sebuah map berisi 178 lembar kertas HVS A4. Ku jaga ia erat-erat, jangan sampai sesuatu akan terjadi padanya, maka, hancurlah sudah khayalanku untuk membantu Bunda yang tengah dilanda krisis paceklik keuangan.
Tubuhku gemetar saat memasuki ruang redaksi. Beberapa menit aku menunggu seseorang yang saat ini benar-benar penting bagiku. Sekitar lima belas menit ku tunggu, akhirnya ia muncul juga. Berpakaian sangat rapih, berdasi.
Ia mulai membuka serta mebaca lembar demi lembar novelku, sesekali ku lihat ia tersenyum simpul. Tak jarang pula ia tertawa, bahkan sesekali terbahak-bahak.
Sebulan ku tunggu telepon dari penerbit buku itu. Sampai akhirnya datanglah hari kebahagiaan itu. Pak Johan, bagian redaksi yang ku temui waktu itu, menyatakan ia terkagum-kagum dengan novelku.
“Cerita mu ini sebenarnya kampungan! Sudah basi! Banyak cerita seperti yang datang ke meja redaksi saya. Dan hampir semuanya saya tolak!!”. Jantungku berdegup kencang, wajahku mulai pucat.
“Tapi lain dengan kau ini manis... Novel mu begitu lain! Spesial! Memiliki karakter sendiri. Kau tahu nak, aku berusaha meluangkan waktuku untuk menamatkan novel mu ini! Sangat menarik! Cerita percintaan yang romantis, lucu, dan juga menyebalkan. Hahhaa…”
Aku tahu, saat ini air mataku menetes membasahi gagang teleponku, aku bahagia sekali. Terutama saat aku mendengar ucapan terakhir Pak Johan.
“Jadi... kapan kau mulai taken kontrak?”.
Hah!! Aku terlonjak kaget dari tidurku. Komputer dihadapanku masih menyala, Microsoft Word tebuka lebar memampangkan novelku yang baru 50 halaman. Ya Allah... ternyata ini hanya mimpi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar