AZZAHRA SALAMAH
“Sem…! Sem…! Tunggu!.”. Michael masih asik mengejarku sampai pelataran rumahku.
“Ada apa lagi Miche? Tolonglah Michael... Tolong mengerti!.”
“Mengerti? Apa yang aku bisa mengerti dari kamu? Tolonglah kamu yang mengerti aku Samantha... Aku sungguh sayang padamu! Tolong aku, saat ini aku seperti orang bingung!.”
“Miche, sungguh... Sungguh sedikitpun aku tidak bermaksud melukai hatimu. Aku pun tahu, kamu begitu lembut padaku. Tapi tolonglah aku kali ini Miche, tolong mengerti aku. Hargai keputusanku.” ucapku dengan nada sedikit menenangkan. Berharap Miche dapat luluh.
“Sem, tolong terangkan padaku, bagian mana yang sewajarnya aku mengerti darimu? Beberapa hari ini kamu menghilang begitu saja. Lalu tadi pagi minta kita berjumpa. Aku bermaksud melepaskan rindu dan tanyaku. Namun rupanya, kamu hanya mematung. Lalu kamu bilang ‘Kita putus!’, lalu kamu terisak meninggalkanku. Tolonglah kamu jelaskan padaku bagian mana yang harus aku mengerti?!.” paparnya sambil mengguncang-guncangkan pundakku.
Aku menghela napas dalam. “Miche, aku tahu, ini semua tak beralasan untukmu. Tapi tolong kali ini kamu pahami aku, sebagaimana selama ini kamu begitu mengerti aku. Saat ini aku pun begitu rapuh untuk menjelaskan semuanya kepadamu. Bukan akibat kerapuhanku untuk mengatakan sebabnya, tapi karena hatiku rapuh jikalau nantinya aku merapuhkan hatimu yang lembut Miche... .”
“Lalu, apa bedanya kini? Sem, saat ini aku pun rapuh. Seminggu aku menanti kehadiranmu. Lalu kamu putuskan aku begitu saja tanpa alasan yang jelas. Sungguh remuk aku Sem!.”.
Aku hanya bisa diam terpaku. Berharap Miche berlalu tanpa memperdulikan aku yang kikuk ini walaupun dengan seribu tanda tanya dalam hatinya. Tapi nyatanya, ia tak beranjak seinci pun! Itulah Miche, sang pujaan hatiku yang sangat aku idolakan. Rasa sesak merasuki hatiku dalam saat aku lontarkan kata putus padanya. Tak logis bagiku untuk membuang orang sebaik Miche. Tapi kini terasa logis, sangat logis. Ini jalan yang aku pilih, dan aku tidak boleh setengah-setengah.
“Baiklah Miche, aku akan segera memberitahumu. Tapi bukan sekarang.”
“Kenapa Sem? Apa bedanya sekarang ataupun nanti? Semakin cepat aku tahu alasanmu, tentu semakin baik rasanya.”
“Waktu. Aku butuh waktu untuk menjelaskannya. Tidak hanya sekedar bicara Miche... .”
“Oke...! Oke...! Aku akan mencoba mengerti, walaupun sejujurnya aku tidak dapat menerka jalan pikiranmu. Aku akan selalu menunggu jawaban darimu Sem, sayangku.”. Michael meninggalkanku dalam isakku. Ia sama sekali tak menoleh ke arahku. Bukan karena acuh, namun aku tahu, sesungguhnya hatinya begitu remuk sehingga tak sanggup memandangku lagi. Aku pun begitu hancur saat ia ditelan jalan, rasanya aku tak lagi berpijak pada bumi ini. Tubuhku terasa sangat ringan.
☺☺☺☺☺
Tiga tahun aku tak pernah lagi berjumpa dengan pria yang selalu menyanjungku. Pria yang selalu memberikan pencerahan mengenai hidup untukku. Pria yang begitu memahamiku sampai persoalan kecil. Pria yang begitu sempurna dimataku, walaupun aku menyadari tak ada yang sempurna di dunia ini. Rasanya ingin sekali aku berjumpa lagi dengannya. Hasrat untuk memberitahukan alasan mengapa waktu itu aku begitu cepat melepasnya serasa mencambukku. Tapi apa yang bisa aku perbuat? Yang aku tahu belakangan ini, Michael sudah tidak tinggal bersama orang tuanya lagi. Tidak tahu alasan apa ia memilih jalan itu. Entah urusan pendidikan, atau pun sekedar menenagkan diri. Hanya itu yang aku tahu.
Aku pun mulai rindu pada sahabat lamaku, Fatimah. Bahkan, lebih dari aku tak melihat Michael lagi. Hampir empat tahun ini, aku hanya bercengkerama dengan Fatimah lewat surat. Di sana belum ada koneksi internet, atau pun telepon genggam. Ia tinggal di desa yang sulit di jangkau saluran-saluran signal seperti itu. Akhirnya aku memutuskan, untuk mengunjunginya.
☺☺☺☺☺
Pak Soleh, supirku, bergegas keluar dari mobil menuju pohon besar di ujung jalan untuk melepaskan penatnya.
“Sudah lega, Pak??.” tanyaku dengan senyumku yang ternilai manis.
“Sudah Non, maaf yah Bapak jadi menunda perjalanan... .”
“Tidak masalah Pak, kan panggilan alam? Hehhee...”.
Baru saja Pak Soleh ingin melayangkan kakinya lagi untuk menancap gas, aku tersentak menghentikannya. Aku terbirit keluar dari mobil.
“Sem...??.”. Seorang pria yang lama telah ku kenal yang tengah bertengger di liang pintu gereja mungil di desa yang tak jauh dari rumah sahabatku Fatimah, memperhatikanku dengan seksama. Lalu ia berjalan perlahan menghampiriku dengan tatapan tak luput terus menjamahi seluruh tubuhku.
“Sem...?? kamu kah itu??.”.
Aku hanya membalasnya dengan senyum yang merekah.
“Senang rasanya bertemu denganmu lagi Miche... .”.
Sampai tinggal beberapa puluh centi lagi, Michael menghentikan langkahnya. Belum pernah jikalau aku berjumpa dengannya memiliki jarak sejauh ini.
“Oh Tuhan Yesus... Inikah jawaban-Mu atas doa ku? Tapi mengapa oh Tuhan, mengapa aku bertemu dengannya dalam keadaan seperti ini?.”.
Michael mengusar-gusarkan tangannya ke kepalanya. Ia benar-benar seperti pertama kali melihatku. Aku risih setiap pandangannya menggeluti seluruh tubuhku. Namun aku tak heran. Aku maklum.
“Maafkan aku Miche, waktu itu aku tidak pernah siap memberitahumu akan keadaanku saat ini. Aku tidak sanggup jikalau kelak hatiku malah akan goyah. Saat aku benar-benar mantap untuk memberitahumu, jelas malah kamu tidak aku dapati. Sempat terdengar kabar, kamu pindah ke sebuah desa. Kini aku paham, kamu pindah ke desa ini kan?.”. Michael diam sesaat.
“Ya, dan jelas pula kamu tahu desa apa ini?.”
“Tentu Miche, ini desa tempat aku berlibur. Yang waktu itu aku ceritakan padamu.”
“Ya, aku begitu gembira Sem, saat kamu begitu bersemangat menceritakan dan mendeskripsikan keindahan desa ini. Sehingga aku merencanakan untuk tinggal di sini beberapa lama untuk menenagkan jiwaku Sem... . Tahukah kamu Sem? Aku sungguh tenang berada di desa ini. Terutama di Gereja mungil ini.” paparnya menujuk ke arah gereja itu.
“Aku begitu tenang di sini, namun tak seharipun aku tak memikirkanmu Sem, aku selalu berdoa agar kelak aku mendapatimu besertajawaban dari seribu tanyaku. Hhh… Sekarang rupanya doaku didengar-Nya, aku mendapatimu beserta jawabannya. Tapi Sem, bisakah kamu memberitahuku mengapa kamu begini?.” tambahnya. Aku menghentikan senyumku, saat aku terpaku melihat air matanya yang mulai berlinang. Ya, dia masih selembut dahulu, aku tahu, ia pasti masih sangat sayang padaku. Begitu pula aku yang tak pernah bisa untuk menghilangkan rasa sayangku padanya.
“Baiklah Miche, marilah kita duduk-duduk dahulu, agar percakapan kita menjadi lebih relax!.” ujarku berusaha menenangkannya. Ia menurutiku, ia berjalan di depanku, ia membimbingku duduk di bangku depan gereja, tidak persis di depannya, ada jarak beberapa meter dari pelataran gereja mungil itu.
“Waktu itu, aku berlibur ke desa ini. Tentunya sudah pula kamu tahu Miche, Papahku mengirimku ke kediaman kerabat lamanya yang selalu ia ceritakan itu, kerabatnya yang begitu rendah hati dan bersahaja. Keluarga sederhana yang sebenarnya memang sangat sederhana itu. Semula aku tak suka, sebab, aku kira aku akan tinggal di sebuah villa. Nyatanya aku tinggal di sebuah rumah mungil berdiamkan lima penghuni, enam beserta aku…”
“Aku tahu itu Sem, ayolah kamu ceritakan saja ke intinya!.” ucap Michael menghentikan ceritaku.
“Sabarlah sedikit Miche… Kiranya kalau aku tak menceritakan semua ini, alasan yang aku miliki takkan logis untukmu. Kelak kamu akan menanyakan sebab lainnya, sehingga aku tetap saja akan menciratakan ini.” sahutku penuh rasa meyakinkan.
Michael hanya terdiam.
“Miche, di dalam keluarga itu, Abi Harfan serta Ummi Halimah memiliki satu anak perempuan yang sebaya denganku, namanya Fatimah. Sejak awal berbincang dengannya, aku amat tertarik akan kesantunannya. Sesungguhnya kamu pun tahu Miche, aku menyukai pelajaran baru dalam hidupku. Begitulah aku menyayangi Fatimah, wanita yang paling lembut yang pernah aku kenal.”
“Aku tahu, lantas, apa bedanya dengan kamu Samantha? Kamu adalah wanita terlembut yang pernah aku kenal pula.”
“Terima kasih Miche! Hmm… aku yakin, jikalau kamu bertemu dengannya, ucapanmu itu akan berubah. Mari aku lanjutkan ceritaku. Fatimah, aku begitu akrab dengannya. Walaupun agama kami jelas berbeda, tak jarang kami saling bertukar pikiran tentang agama kami masing-masing. Ingatkah kamu Miche, waktu aku berlibur, itu adalah bulan Puasa mereka. Namanya bulan suci Romadhon. Tak berbeda dengan puasa yang selama ini kita jalani setiap menyambut Pascah. Hanya saja, yang aku perhatikan, mereka mulai berpuasa pada saat datangnya fajar, dan membatalkannya saat terbenamnya matahari. Aku pun rutin ikut mereka berpuasa, aku hanya ingin tahu bagaimana rasanya berpuasa dalam agama mereka. Akupun tak jarang memperhatikan cara mereka beribadat. Tentunya kamu pun tahu Miche, aku begitu menyukai wawasan luas hidup ini. Sehingga Dan aku pun makin tertarik untuk mengetahui agama mereka. Aku terjun langsung setiap kali aku bertanya ‘apa yang kamu lakukan Fatimah? Untuk apa itu? Apa yang kamu baca itu Fatimah, kitab kah itu?’. Hingga saat malam itu datang Miche, malam di mana malam terakhir aku harus tinggal di sana. Aku kalut Miche, aku masih ingin tahu pejalaran baruku itu. Tapi nyatanya, aku pulang. Tepat saat kamu menjemputku.”
“Ya, aku ingat itu, aku begitu rindu padamu. Aku ingat sekali, aku memelukmu erat, enggan melepaskannya.”.
Aku hanya tersenyum simpul mengenang itu.
“Tahukah kamu Miche, aku tak henti-hentinya untuk tidak berhenti tali silaturahmiku dengan Fatimah. Semenjak itu kami menjadi sahabat pena. Dia sering menanyakan tentang agama kita Miche, sampai-sampai aku hanyut dalam perbincangan antar agama ini. Miche, kini jelaslah semuanya.”
“Tidak Sem, belum. Belum puas untukku. Kiranya jelaskanlah sedikit lagi lebih terperinci! Rasanya, belum semua kamu ceritakan kisahmu ini.”
“Hmm… Yah Miche, aku mulai tertarik pada agama yang Abi, Ummi, serta Fatimah anut. Aku mulai mencoba sedikit demi sedikit benar-benar terjun ke dalamnya. Sampai Papah mengetahui itu. Dan semuanya begitu jelas saat Papah mengatakan, hak memilih agama ia tumpahkan sepenuhnya untukku. Tanpa basa-basi, aku di Islamkan. Tanpa sepengetahuanmu. Dan, saat aku mulai mempelajari lebih dalam sedikitnya, selama satu minggu aku menghilang, aku memikirkan tentang hubungan kita yang diharamkan dalam Islam. Kita berbeda agama Miche… Kiranya itu sudah lebih dari cukup.”.
Michael merunduk, aku tahu, rasa sesal melingkupi dirinya, bukan penyesalan atas perpindahan agamaku ini, tapi penyesalan mengapa ia membiarkan aku pergi berlibur ke desa ini.
“Baiklah Sem, aku hormati keputusanmu, sebagaimana aku menghormati agama barumu ini. Tapi, izinkanlah aku untuk terakhir kalinya jalan bersamamu di desa ini. Setidaknya, cukup atau tidak, inilah perpisahan kita yang sesungguhnya.”
“Tidak Miche. Maafkanlah aku, aku tidak bisa.”.
Miche mulai memukuli hatinya sendiri dengan umpatannya.
“Baiklah. Kalau begitu, aku hanya ingin sekedar memelukmu.”
“Maaf Miche… Mengertilah!”
“Baiklah Sem! Apa yang pantas kita hadiahkan untuk perpisahan kita ini?? Terangkan padaku!.”.
Aku menyodorkan kedua telapak tanganku, rupanya Michael tahu, aku haya ingin bersalaman padanya. Michael terdiam sesaat membiarkan telapak tanganku mematung dihadapannya. Saat aku sadar ia berusaha menyambarnya, aku mengatupkan telapak tanganku ke dadaku. Aku menjaga wudhuku seperti yang Fatimah biasakan seperti yang ia tulis dalam surat.
Michael beranjak meninggalkanku. Aku tahu, rasa kesal memadati hatinya. Akupun berbalik arah menuju mobilku untuk melanjutkan perjalanan. Belum sampai di liang pintu mobil…
“Sem! Aku mencintaimu… Sangat mencintaimu! Mengertilah…”.
Aku sesak sejenak, lalu aku berbalik untuk mengumbar senyum padanya.
“Terima kasih Miche, tapi ingatlah satu hal lagi! Namaku Zahra, Azzahra Salamah. Aku sekarang begitu menyukai nama itu Miche dibanding Samantha!”. Aku berbalik, angin yang kencang membuat jilbabku yang panjang berkibar, dan aku merasa lebih cantik, secantik-cantiknya wanita saat aku mulai mengenakannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar