Total Tayangan Halaman

Kamis, 08 April 2010

RAS DAN HUBUNGAN ETNIK

Ras dapat diartikan dengan baik sebagai suatu kelompok orang yang memiliki ciri-ciri fisik yang sama, maupun sebagai suatu kelompok orang yang cirri-cirinya ditentukan oleh pengertian masyarakat. Dalam segi pemakaian istilah ras, tidak terdapat kesamaan pendapat. Persamaan ras secara biologis tidaklah penting. Naumb, secara budaya perbedaan ras adalah penting. Istilah etnik bukan hanya mencakup kelompok-kelompok lain yang memiliki asal-muasal yang sama, dan mempunyai kaitan satu sama lainnya dalam segi agama, bahasa, kebangsaan, asal daerah, atau gabungan antara faktor yang satu dengan faktor yang lainnya. Dalam suatu negara seringkali terdapat beberapa kelompok etnik yang berbeda.

Amalgamasi merupakan proses perbaruan biologis antarbeberapa kelompok ras yang berbeda. Asimilasi merupakan perbauran budaya secara timbale balik, lewat mana orang-orang atau kelompok-kelompok dapat memiliki suatu budaya yang sama. Prasangka adalah “penilaian awal” terhadap orang-orang tertentu berdasarkan citra kelompok mereka, bukannya berdasarkan ciri-ciri dan kualitas pribadi mereka. Diskriminasi adalah perbedaan perlakuan (pelayanan) terhdapa orang-orang yang berdasarkan pandangan streotip tentang orang-ornag tersebut. Dahulu kita berpandangan sebaliknya. Diskriminasilah yang menyebabkan upaya untuk membasmi suatu kelompok manusia yang seringkali dilakukan pada masa lalu, namun jarang berhasil sepenuhnya.

Kebijakan etnik di Amerika Serikat telah menempuh beberapa pendekatan: (1) melakukan upaya integrasi dengan cara melindungi hak-hak individu; (2) melindungi hak-hak kelompok dengan cara; (a) separatisme (pemisahan) atau (b) pluralisme budaya (cultural pluralism). Tidak satupun diantara keduanya yang berhasil. Kebijakan yang akhir-akhir ini dicoba meliputi: (1) pengajaran dalam dua bahasa (bilingual instruction) yang merupakan cara pengajaran bahasa Inggris yang meragukan, dan bahkan menunjang bertahannya bahasa selain bahasa Inggris dan identitas etnik; (2) tindakan afirmatif (affirmative action) yang tujuannya untuk memberikan kedudukan yang layak kepada kelompok tertentu, namun ternyata tidak banyak hasilnya; (3) pelayanan bis sekolah untuk menciptakan perbaruan ras yang seimbang, namun pengaruhnya terhadap pertentangan antar ras dan pendidikan orang kulit hitam masih seru diperdebatkan, dan (4) pembuatan Undang-Undang yang dimaksudkan untuk mengurangi ketidakadilan perlakuan terhadap kelompok ras.

Pengertian kelompok ras Amerika juga meliputi orang-orang Indian-Amerika, orang-orang Spanyol-Amerika, dan kelompok-kelompok yang memiliki semacam wilayah mukim dan yang lebih dapat menerima pluralisme budaya. Beberapa kelompok minoritas, termasuk kebanyakan orang Eropa dan Asia, sangat mobil di Amerika Serikat. Kelompok-kelompok lainnya tampak kurang mobil. Diperkirakan golomngan melarat kulit hitam di Amerika Serikat akan semakin tumbuh dan semakin mapan. Golongan tersebut tidak mengalami mobilitas sebagaimana yang dialami orang-orang kulit hitam lainnya pada akhir-akhir ini.

Pemikiran ortodoks memandang diskriminasi sebagai masalah yang terpenting dalam kaitannya dengan hubungan antar kelompok etnik. Orang-orang ortodoks mempertahankan budaya ghetto, menunjang kebanggan kelompok, dan manganjurkan adanya kebijakan pemerintah yang menghapuskan diskriminasi, memperkuat pluralisme budaya, serta memperluas tunjangan sosial. Aliran pemikiran “revisionis”, yang bertolak belakang dengan aliran pemikiran ortodoks, memandang budaya ghetto sebgai penghambat, dan menilai bahwa diskriminasi bukan lagi merupakan masalah utama, serta memandang beberapa program pemerintah sebagai upaya yang tidak produktif.





Sumber: Horton B Paul, Chester L Hunt, Sosiologi (Jakarta, Penerbit Erlangga, 1999).

PERUBAHAN PENDUDUK

Demografi meliputi komposisi kelompok usia dan kelompok jenis kelamin penduduk, perpindahannya di dalam suatu negara atau antarnegara, dan laju pertumbuhan penduduk.

Dalam banayak hal komposisi kelompok jenis kelamin penduduk mempengaruhi kehidupan sosial penduduk mempengaruhi kehidupan sosial penduduk. Perubahan komposisi kelompok usia terutama disebabkan oleh perubahan tingkat kelahiran yang dewasa ini menaikkan jumlah orang usia lanjut dan menurunkan jumlah anak-anak di banyak negara. Penurunan jumlah pemuda di negara-negara industri dapat mengurangi tingkat kejahatan dan tingkat pengangguran pemuda. Kenaikan jumlah orang usia lanjut juga mengurangi jumlah pekerja dan menimbulkan biaya pension yang tinggi.

Migrasi dipengaruhi oleh dorongan terhadap oenduduk karena adanya keadaan yang tidak memuaskan di negara sendiri, karena adanya daya tarik kesempatan menarik di tempat lain, dank arena adanya saluran-saluran atau jalan yang memungkinkan penduduk untuk berimgrasi.

Tingkat kelahiran cenderung bervariasi ketergantungannya dengan status sosial. Namun demikian, di Amerika Serikat pada tahun-tahun terakhir ini tingkat kelahiran orang miskin dan orang kulit hitam (untuk semua klasifikasi jumlah penghasilan) mengalami penuruna tajam.

Malthus mengemukakan bahwa pertumbuhan penduduk cenederung mengurangi persediaan pangan, menciptakan kelebihan penduduk, dan penderitaan, kecuali jika orang mampu mengendalikan pertumbuhan penduduk dengan cara menunda perkawinan.

Para penganut teori Malthus-Baru mengemukakan bahwa meskipun ramalan Malthus yang buram itu mungkin saja masih bersifat premature, namun pada dasarnya ramalan itu benar. Para penganut teori anti-Malthus berpandangan bahwa sumber daya dunia masih cukup untuk jumlah penduduk yang lebih besar. Para penganut aliran Marxis dan beberapa penganut teori anti-Malthus beranggapan bahwa eksploitasilah yang merupakan peneyebab utama kelaparan dunia, bukannya kelebihan penduduk. Transisi demografi yang terjadi di negara-negara Barat menunjukkan adanya perubahan dari masa yang tingkat kelahiran dan tingkat kematiannya ke masa keseimbangan yang ditopang oleh tingkat kelahiran dan tingkat kematian yang rendah. Belum bisa dipastikan apakah negar-negara sedang berkembang juga akan mengalami transisi demografi semacam itu.

Kebijakan kependudukan dapat berciri pronatalis, antinalis, atau gabungan dari keduanya. Kebijakan pronatalis menghargai keluarga besar dan melarang atau membatasi penggunaan kontrasepsi, sterilisasi, dan aborsi. Kebijakan antinatalis menghargai orang yang memiliki keluarga kecil, dan menyediakan kemudahan-kemudahan untuk memperoleh kontrasepsi, serta mungkin pula aborsi.

Prospek masa depan kependudukan belum bisa terlihat jelas. Negara-negara industri, termasuk Amerika Serikat, cenderung mengarah ke tingkat kependudukan yang stabil dan disertai oleh proses penyesuaian yang tidak menyenangkan.

Walaupun negara-negara sedang berkembang masih memiliki laju pertumbuhan yang cepat, namun tingkat pertumbuhannya sedang mengalami penurunan. Bilamana upaya pengendalian jumlah penduduk berhasil, maka jumlah penduduk dunia pada akhirnya mungkin akan stabil, yakni ketika jumlahnya mencapai dua kali lipat dari jumlah penduduk dunia dewasa ini. Masalah apakah kelak kita akan mengalami keadaan kependudukan yang stabil ataukah malapetaka, belumlah dapat dipastikan.





Sumber: Horton B Paul, Chester L Hunt, Sosiologi (Jakarta, Penerbit Erlangga, 1999).

PERUBAHAN KOMUNITAS MASYARAKAT

Komunitas (Community) biasanya didefinisikan sebagai penduduk suatu wilayah yang dapa menjadi suatu tempat terlaksananya segenap kegiatan kehidupan kelompok manusia ini. Orang desa berbeda dengan orang kota karena dahulu kondisi fisik dan sosial di desa berbeda dengan kondisi fisik dan sosial di kota. Isolasi komunitas desa tradisional, homogenitas, pekerjaan di bidang pertanian, dan ekonomi subsistensi cenderung menciptakan orang yang hemat, bekerja keras, konservatif, dan etnosentris. Perubahan teknologi cenderung melahirkan revolusi desa, yang disertai dengan berkurangnya kadar isolasi, munculnya usaha pertanian komersial berskala besar, dan cara hidup yang dalam banyak segi menyerupai cara hidup kota.

Keberadaan kota dimungkinkan oleh adanya surplus hasil pertanian yang disertai dengan peningkatan sarana transportasi; pertumbuhan semacam itu biasanya terjadi pada tempat di mana ada ‘pergantian alat transportasi.’ Upaya untuk memahami pola ekologi kota-kota di Amerika telah berhasil melahirkan teori zona terpusat, teori setor, dan teori multi pusat. Meskipun tidak ada satu pun di antara ketiga teori tersebut yang cocok sepenuhnya dengan salah satu kota di Amerika, namun dalam beberapa hal memiliki kecocokan dengan banyak kota di Amerika. Perkembangan yang paling menonjol dalam segi struktur kota ialah munculnya daerah metropolitan, termasuk wilayah pinggiran kota, yang sekarang sangat berkaitan erat dengan pertumbuhan penduduk kita dewasa ini. Kecenderungan yang sekarang ditandai dengan adanya migrasi ke daerah pedesaan dan kota-kota kecil, suatu pembalikan haluan yang sangat mempengaruhi penurunan proyeksi pertumbuhan kota-kota besar. Kenaikan jumlah penduduk kulit hitam di kota-kota pusat, karena kebanyakan orang kulit hitam telah menjadi orang kota. Hingga kini, masih sedikit orang kulit hitam yang pindah ke daerah pinggiran kota.

Kampung kumuh merupakan akibat dari adanya penghuni kampong yang berpenghasilan rendah. Keberadaan kampung semacam itu terjerat dalam lingkaran sebab-akibat antara keacuhan para pemilik rumah. Pengadaan rumah rakyat untuk menanggulangi kerapuhan kota tidak banyak memberikan hasil yang menggembirakan. Hal ini disebabkan oleh sebagian kenyataan bahwa program pengadaan perumahan rakyat itu justru mempertegas isolasi kaum miskin dari kelompok masyarakat lainnya.

Kota merupakan gabungan dari beberapa wilayah alamiah (natural area) yang secara terus menerus berubah melalui proses ekologi; konsentrasi (concentration), sentralisasi (centralization), desentralisasi ( decentralization), segrerasi (segration), invasi (invasion), dan suksesi (succession).

Kehidupan dan kepribadian urban dipengaruhi oleh kondisi fisik dan sosial kota – anonimitas, kepadatan penduduk, jarak sosial, dan keteraturan hidup. Kondisi semacam itu, menurut para ahli sosiologi terdahulu, menciptakan kepribadian urban yang berbeda – rasa sepi, materialistis, rasa tidak aman (tenang), dan berdikari. Namun demikian, pandangan tersebut diragukan oleh beberapa penelitian terakhir, yang menemukan hanya sedikit perbedaan antara kepribadian orang kota dengan kepribadian orang desa. Anggapan yang meluas bahwa kehidupan desa dan orang desa ‘lebih baik’ daripada kehidupan kota dan orang kota, dikenal sebagai anggapan anti urban. Dewasa ini perbedaan antara desa dengan kota terkikis secara cepat. Peran perbedaan desa-kota sebagai petunjuk untuk memahami kepribadian dan cara hidup seseorang kurang penting dibandingkan dengan peran klasifikasi bidang pekerjaan. Kota kecil (town) merupakan suatu bukti dari adanya konvergensi desa-kota. Sebagian penduduk kota kecil menhendaki agar kota kecil tetap berada dalam keadaan mampu membiayai dirinya sendiri (self-sufficiency). Selebihnya menginginkan agar ekonomi kota kecil diintegrasikan ke dalam ekonomi sosial, para penduduk desa nonpetani, yang jumlahnya meningkat cepat, lebih berperilaku urban daripada desa.

Kaum melarat kota, yang berasal dari kelompok minoritas, merupakan suatu kelas sosial terlantar. Mereka tidak dapat memperoleh pekerjaan di kota dan tidak mampu pindah ke kota lain untuk memperoleh pekerjaan. Pembangunan kota kecil baru merupakan upaya menyalurkan penduduk dan usaha bidang industri ke komunitas baru yang telah dirancang. Perencanaan kota merupakan suatu upaya (yang belum terlalu berhasil) utnuk menanggulangi masalah-masalah kota yang semakin menyeramkan.






Sumber: Horton B Paul, Chester L Hunt, Sosiologi (Jakarta, Penerbit Erlangga, 1999).

PERILAKU KOLEKTIF DAN PERUBAHAN SOSIAL

Perilaku kolektif (collective behaviour) merupakan cirri khas dari masyarakat berkebudayaan kompleks. Perilaku demikian tidak terdapat pada masyarakat sederhana. Perilaku kolektif meliputi perilaku kerumunan, perilaku massa, dan gerakan sosial.

Kerumunan (crowd) adalah kumpulan manusia sementara yang bertindak secara bersama-sama. Terdapat tiga teori utama yang mencoba memberi penjelasan tentang perilaku kerumunan. Teori penyeberan (contagion theory) menekankan proses psikologis dari pemberian saran dan penanganan (manipulasi); teori konvergensi (convergence theory) menekankan persamaan sikap para anggota kerumunan; teori kemunculan norma (emergent norma theory) menunjukkan bagaiamana norma dalam situasi kerumunan muncul dan berperan dalam membenarkan, serta membatasi perilaku. Perilaku kerumunan ditandai oleh: (1) anonimitas, yakni hilangnya kendala yang biasanya mengendalikan individu dan rasa tanggung jawab pribadi, (2) impersonalitas, yakni sikap yan memandang bahwa hanya kelompok seseoranglah yang penting, (3) mudahnya dipengaruhi, yakni sikap para anggota yang menerima saran secara tidak kritis, (4) tekanan jiwa (stress), dan (5) amplifikasi interaksional, yakni sikap para naggota yang saling meningkatkan kadar keterlibatan emosi. Di lain pihak, perilaku kerumunan dibatasi oleh : (1) kebutuhan emosi dan sikap para anggota; (2) nilai-nilai para anggota; (3) pemimpin kerumunan yang harus menciptakan hubungan baik, meningkatkan ketegangan emosi, memberikan saran untuk meredakan ketegangan itu dan memberikan pembenaran terhadap tindakan yang ditempuh; dan (4) Kontrol eksternal, terutama dari pihak polisi yang kesanggupannya untuk mengendalikan perilaku kerumunan sebagian tergantung kepada keterampilan, dan selebihnya tergantung kepada keberadaan kerumunan.

Perilaku kerumunan memiliki banyak ragam atau bentuk. Hadirin (audiens) merupakan bentuk kerumunan yang pada umumnya berjalur komunikasi satu arah (tetapi tidak selamanya demikian); bentuk kerumunan ini membentuk respons terhadap astu stimulus (rangsangan). Dalam kerusuhan (riot) para anggota kerumunan, yang agresif dan liar, menyalurkan perasaan kejengkelan mereka secara irasional; namun demikian, penyaluran perasaan kejengkelan itu seringkali dilakukan secara rasional. Dalam suasana orgi (pesta pora) suatu kerumunan yang baik menikmati kesukariaan tanpa kendala. Dalam suasana panic orang-orang membentuk kerumunan secara tiba-tiba dan tidak terorganisasi dalam upaya menyelamatkan diri dari bahaya.

Massa terdiri atas sejumlah orang yang terpisah-pisah yang memberikan respons terhadap suatu rangsangan (stimulus) yang sama secara sendiri-sendiri. Perilaku massa adalah perilaku massa yang tidak terstruktur dan tidak terkordinasi. Ragam perilaku massa meliputi desas-desus (rumor), yakni berita yang menyebar luas secara cepat dan tidak ditunjang oleh fakta; gaya (fad) atau mode (fashion), yakni ragam (variasi) tutur, tindak-tanduk, busana, atau perilaku; perilaku keranjingan (craze), yakni kegiatan massa yang mengasyikkan dan memberikan kepuasan tertentu, tetapi hanya berlangsung dalam waktu yang tidak lama; histeri massa (mass hysteria), ykni suatu anggapan irasional yang menyebar di kalangan masyarakat; dan juga masih ada ragam lainnya. Perilaku bencana (disaster behaviour) merupakan suatu bidang studi yang relative masih baru dan meliputi pelbagai ragam (bentuk) perilaku kolektif.

Para ahli sosiologi mendefinisikan istilah publik (public) baik sebagai orang-orang yang memiliki minat atau perhatian yang sama, maupun sebagai orang-orang yang sama-sama memiliki keprihatinan terhadap suatu masalah. Pendapat publik (public opinion) mencakup berbagai pendapat yang dianut oleh sejumlah besar orang dan kesepakatan (konsensus) yang disetujui oleh kebanyakan orang.

Dalam kenyataan setiap kelompok dewasa ini berupaya untuk dapat memanipulasi pendapat umum. Propaganda, yang seringkali disebut ‘hubungan masyarakat,’ merupakan salah satu kegiatan terbesar kita. Propaganda bisa saja terbukti lebih lemah dari yang seringkali kita duga. Hal tersebut terjadi karena pengaruh propaganda saingan (tandingan), kredibilitas perilaku propaganda, tingkat kecerdasan penerima, dan kecenderungan yang berlaku dalam masyarakat.

Gerakan sosial (social movement) merupakan cara-cara kolektif untuk menunjang atau menolak perubahan. Teori psikologi menghubungkan kegiatan gerakan sosial dengan ketidakpuasan pribadi (personal discontent) atau dengan ketidakmampuan menyesuaikan diri (personal maladjustment) yang menyebabkan orang bersikap mudah terlibat dalam suatu gerakan; teori sosiologi menekankan deprivasi relatif (relative deprivation), yakni situasi dimana harapan orang terbukti lebih tinggi daripada kenyataan yang terjadi; teori sosiologi juga menekankan peranan mobilitas sumber daya (resource mobilization, serta organisasi efektif, taktik, dan para pemimpin gerakan). Terdapat beberapa tipe gerakan sosial: gerakan perpindahan (migratory movement), yakni arus berpindahnya penduduk ke suatu tempat baru; gerakan ekspresif (expressive movement), yakni tindakan penduduk untuk mengubah sikap mereka sendiri, dan bukannya mengubah masyarakat; gerakan utopia (utopian movement), yakni upaya untuk menciptakan masyarakat sejahtera (sempurna) yang berskala kecil; gerakan reformasi (reform movement), yakni gerakan yang berupaya memperbaiki beberapa kepincangan dalam masyarakat; gerakan revolusioner (revolutionary movement) yang berusaha untuk mengganti sistem yang ada dengan sistem baru; dan gerakan perlawanan (resistance movement) yang berusaha melawan perubahan sosial tertentu. Dalam proses pentahapan banyak gerakan sosial melalui tahap ketidaktenteraman (unrest), tahap perangsangan (excitement), tahap formalisasi (formalization), tahap institusionalisasi (institutionalization), dan tahap pembubaran (dissolution).





Sumber: Horton B Paul, Chester L Hunt, Sosiologi (Jakarta, Penerbit Erlangga, 1999).

PERDEBATAN TENTANG ‘HARI KIAMAT’ (THE DOOMSDAY DEBATE)

Berapa banyak orang yang kehidupannya mampu ditunjang oleh bumi? “Kemampuan daya tunjang” bumi berkaitan dengan tiga faktor: (1) sumber daya yang tersedia, (2) tingkat kemajuan teknologi, dan (3) standar hidup orang. Sebagai contoh, sebuah perkiraan menyatakan bahwa dengan tingkat kemjuan teknologi yang dicapai dewasa ini, seluruh dunia hanya mampu menunjang sebanyak 1 milyar orang yang berstandar hidup Amerika (Murdock, 1975, hal. 461-462). Jadi, seandainya seluruh penduduk dunia mengikuti pola standar hidup Amerika, maka tiga hari dari setiap orang harus ‘disingkirkan’.

Para penganut teori aliran Malthus-Baru berpandangan bahwa teori Malthus tidaklah salah, hanya premature. Sumber daya dunia memang terbatas. Kita tidak berdaya menciptakan lebih banyak tanah, air, batubara, atau minyak. Memang benar kita tidak akan kehabisan minyak secara mendadak, seperti habisnya minyak dlaam sebuah tangki. Lading-ladang minyak yang luas mudah diketemukan, sehingga pada akhirnya banyak pengeboran minyak menjadi kering. Akibatnya, biaya eksplorasi dan pengeborannya meningkat terus sampai oada usatu titik di mana biaya untuk memperoleh minyak menjadi lebih mahal daripada energi yang diberi oleh minyak itu.

Skenario di atas berlaku pada kebanyakan sumber daya: pembiayaan meningkat karena sumber daya utama telah berkurang, sehingga sumber daya yang bermutu rendah harus digunakan. Luas tanah pertanian yang du=igunakan semakin meningkat dibandingkan dengan luas tanah yang digunakan sebelumnya. Namun demikian, mutu tanah pertanian semakin menurun karena adanya erosi (Eckholm, 1979). Deforestasi (pembukaan hutan) dan pengembalaan ternak secara berlebihan di padang rumput telah memperluas padang pasir dunia sekitar 14 juta are (acre) per tahun – suatu tingkat kelajuan yang mampu merusak sepertiga dari tanah subur kita dalam jangka waktu dua puluh lima tahun (Rensberger, 1977). Keadaan ‘kekurangan minyak’ pernah berubah menjadi ‘kelimpahan minyak’ sementara, karena konservasi dan resesi dunia menurunkan permintaan (demand) minyak, sementara itu haraga yang tinggi mendorong eksplorasi meningkatkan persediaan (suplai). Terlepas dari itu, untuk prospek jangka panjang akan terulang lagi keadaan kekurangan minyak dengan harga yang tinggi.

Demikianlah penyajian yang sangat singkat menyangkut faktor-faktor yang mendorong para penganut aliran ‘hari kiamat’ sehingga mereka meramalkan akan adanya malapetaka yang berupa kekurangan, kelaparan, perang, revolusi, wabah, dan kekacaubalauan. Mereka mengatakan bahwa memang laju pertumbuhan penduduk berlangsung lambat, tetapi jika dihitung menurut jumlah penambahan manusia, maka jumlahnya lebih besar daripada apa yang pernah terjadi. Tanpa adanya laju penurunan tingkat pertumbuhan secara cepat, ramalan tentang akan terjadinya kematian massal akan terbukti kebenarannya dalam beberapa dasawarsa mendatang (Mesarovic dan Pestel,1974; Laszlo, dkk., 1977; Catton, 1980; Webb dan Jacobsen, 1982).

Para penganut aliran ‘optimis’ mengemukakan bahwa ramalan ‘hari kiamat’ semacam itu tidak benar dan selalu saja akan salah (Vajk, 1979; Paarlberg, 1980). Orang-orang optimis yakin bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi mampu mengadakan pengganti bahan-bahan yang langka, menyuburkan tanah-tanah yang terkena erosi, dan memenuhi kebutuhan yang meningkat yang merupakan akibat dari adanya penambahan penduduk (Kahn, 1976, 1979, 1982; Simon, 1981,1981a; 1981b). Pertumbuhan penduduk, menurut Simon (1981a), bukanlah merupakan suatu ancaman, karena pertumbuhan tersebut emningkatkan jumlah orang-orang berotak cerdas yang akan menciptakan teknologi baru.

Perdebatan tersebut memang tajam; namun demikian, terdapat pula kenayataan yang tidak bisa dibantah. Pertama, laju pertumbuhan penduduk dewasa ini tidak boleh dibiarkan berlangsung begitu saja. Pada suatu saat di masa datang, tingkat petumbuhan penduduk jelas akan sangat menurun; kalau bukan karena adanya penurunan pesat dalam segi pertumbuhan penduduk, terobosan hebat dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi harus cepat dilakukan secepatnya untuk menghindari malapetaka. Di kalangan orang optimis, yang meramalkan akan adanya terobosan semacam itu, tidak terdapat ilmuwan-ilmuwan pengetahuan alam yang terkenal.





Sumber: Horton B Paul, Chester L Hunt, Sosiologi (Jakarta, Penerbit Erlangga, 1999).

MOBILITAS WANITA

Secara tradisional kaum wanita mengalami mobilitas terutama melalui perkawinan [Chase, 1975]. Mungkin saja para wanita yang sudah menikah bekerja pada jenis pekerjaan yang “cocok” (lebih rendah, tetapi tidak terlalu jauh di bawah status kedudukan suami mereka), namun sedikit sekali kaum wanita mencapai status sosial melalui pekerjaan. Meskipun demikian, dewasa ini kaum wanita menuntut adanya persamaan, kesempatan kerja. Dengan demikian, terlepas dari perkawinan, pekerjaan pun dapat memberikan tangga mobilitas bagi kaum wanita. Kaum wanita mengalami peningkatan dramatis dalam segi profesi. Jumlah mahasiswi pada fakultas hukum mislanya, meningkat lebih dari lima kali lipat sejak tahun 1970 hingga tahun 1980 [Fossum, 1981]. Seorang ahli sosiologi wanita, yang sangat kritis terhadap masyarakat yang didominasi oleh kaum pria, menyatakan: “Secara jelas kaum wanita menunjukkan kemajuan paling besar. Jika dibandingkan dengan semua kelompok ‘kasta’ di Amerika” [Duberman, 1976, hal. 303].

Pola karier dan mobilitas kaum pria dan kaum wanita semakin menunjukkan adanya persamaan, meskipun masih tetap ada perbedaannya. Sebagian besar istri yang bekerja masih menentukan kedudukan sosialnya berdasarkan pekerjaan suami mereka [Jackman dan Jackman, 1982]. Terlepas dari itu, semakin banyak wanita seperti itu yang menggunakan baik pekerjaan mereka sendiri maupun pekerjaan suaminya sebagai dasar dalam menentukan kedudukan sosial mereka [Van Velsor dan Beeghley, 1979]. Mobilitas karier para wanita yang sudah menikah masih sangat dibatasi oleh tugas-tugas rumah tangga, dan keharusan mendidik anak, serta hambatan-hambatan lain yang mengganggu karier mereka. Persamaan yang sesungguhnya dalam segi mobilitas yang menyangkut lembaga keluarga maupun yang menyangkut lembaga politik ekonomi.




Sumber: Horton B Paul, Chester L Hunt, Sosiologi (Jakarta, Penerbit Erlangga, 1999).

SIFAT DASAR MOBILITAS SOSIAL

Mobilitas sosial (Social Mobility) dapat diartikan sebagai suatu gerak perpindahan dari suatu kelas sosial ke kelas sosial lainnya. Masyarakat yang berkelas sosial terbuka adalah masyarakat yang memiliki tingkat mobilitas yang tingi; masyarakat yang berkelas sosial tertutup adalah masyarakat yang memiliki tingkat mobilitas yang rendah.

Masyarakat bersistem kasta, di mana status dan kedudukan orang ditentukan ole warisan nenek moyangnya, merupakan contoh yang paling ekstrim dari masyarakat bersistem kelas sosial tertutup [Berreman, 1981]. India seringkali disebut sebagai suatu negara yang sangat dikungkung oleh sistem kasta. Pemerintahnya dewasa ini membuka kesempatan untuk memperoleh jenis pekerjaan yang berstatus tinggi bagi kalangan orang berkasta rendah, yang selama berabad-abad hanya diperkenankan utnuk bekerja pada jenis pekerjaan yang berstatus rendah. Pemerintah mencoba untuk mengubah India menjadi suatu masyarakat yang bersistem sosial terbuka [Gandhi, 1980].

Dalam dunia modern, banyak negara berupaya agar dapat meningkatkan mobilitas sosial, karena mereka yakin bahwa hal tersebut akan membuat orang menjadi lebih berbahagia dan memungkinkan mereka melakukan jenis pekerjaan yang paling cocok bagi diri mereka. Bila tingkat mobilitas sosial tinggi, meskipun latar belakang sosial para individu berbeda, maka mereka tetap dapat merasa mempunyai hak yang sama dalam mencapai kedudukan sosial yang lebih tinggi. Bila tingkat sosial mobilitas sosial mobilitas sosial rendah, maka tentu saja kebanyakan orang akan terkungkung dalam status para nenek moyang mereka.

Jika status yang diinginkan benar-benar tersedia bagi semua orang yang berusaha mencapainya, maka mungkin sekali hanya ada sedikit sekali tuntutan akan persamaan sosial yang mutlak. Namun jika saluran mobilitas sosial disumbat, sehingga banyak orang mengalami kegagalan, maka tuntutan akan persamaan yang mutlak bagi semua orang akan semakin besar.



Sumber: Horton B Paul, Chester L Hunt, Sosiologi (Jakarta, Penerbit Erlangga, 1999).

Jumat, 02 April 2010

SOSIALISASI POLITIK: TIDAK MEMUNCULKAN CIVIL SOCIETY

Budaya politik merupakan produk dari proses pendidikan atau sosialisasi politik dalam sebuah masyarakat. Dengan sosialisasi politik, individu dalam negara akan menerima norma, sistem keyakinan, dan nilai-nilai dari generasi sebelumnya, yang dilakukan melalui berbagai tahap, dan dilakukan oleh bermacam-macam agents, seperti keluarga, saudara, teman bermain, sekolah (mulai dari Taman Kanak-kanak sampai Perguruan Tinggi), lingkungan pekerjaan dan, tentu saja, media massa, seperti radio, TV, surat kabar, majalah, juga internet.

Tetapi, proses sosialisasiatau pendidikan di Indonesia tidak memberikan ruang yang cukup untuk memunculkan civil society. Yaitu, suatu masyarakat yang membatasi kekuasaan negra yang berlebih-lebihan. Ada dua alas an utama mengapa pendidikan politik di Indonesia tidak memberikan peluang yang cukup untuk memunculkan civil society.

Pertama, dalam masyarakat kita, anak-anak tidak dididik untuk menjadi insan yang mandiri. Anak-anak bahkan mengalami alienasi dalam politik keluarga. Sejumlah keputusan penting dalam keluarga, termasuk keputusan tentang nasib si anak , merupakan domain orang dewasa; anak-anak tidak dilibatkan sama sekali. Keputusan anak untuk memasuki sekolah atau universitas banyak ditentukan oleh orang tua atau orang dewasa dalam keluarga. Demikian juga keputusan tentang siapa yang menjadi pilihan jodoh si anak. Akibatnya, anak akan tetap bergantung kepada orang tua. Tidak hanya setelah selesai pendidikan, bahkan juga setelah memasuki dunia kerja. Hal ini berbeda sekali dengan di Barat. Di sana, anak diajarkan untuk mandiri dan terlibat dalam diskusi keluarga menyangkut hal-hal tertentu. Di Barat, semakin bertambah umur anak, akan semakin sedikit bergantung kepada orang tuanya. Sementara itu, di Indonesia sering tidak ada hubungan antara bertambah umur anak dengan tingkat ketergantungan kepada orang tua, kecuali anak sudah menjadi “orang” seperti kedua orang tuanya.

Kedua, tingkat politisasi sebagian terbesar masyarakat kita sangat rendah. Kalangan keluarga miskin, petani, buruh, dan lain sebagainya, tidak memiliki kesadaran politik yang tinggi, karena mereka lebih terpaku pada kehidupan ekonomi daripada memikirkan segala sesuatu yang bermakna politik.bagi mereka, ikut terlibat dalam wacana public tentang hak-hak dan kewajiban warga negara, hak-hak asasi manusia dan sejenisnya, bukanlah skala prioritas yang penting. Oleh karena itu, tingkat sosialisasi warga masyarakat seperti ini baru pada tahap yang bersifat kognitif, bukan menyangkut dimensi-dimensi yang bersifat evaluatif. Oleh karena itu, wacana tentang kebijaksanaan pemerintah menyangkut maslaah-masalah penting bagi masyarakat menjadi tingkat penting buar mereka. Karena ada hal lain yang lebih penting, yaitu pemenuhan kebutuhan dasar tadi.

Ketiga, setiap individu yang berhubungan secara langsung dengan negara tidak mempunyai alternative lain kecuali mengikuti kehendak negara, termasuk dalam hal kependidikan politk. Jika kita amati, pendidikan politik di Indonesia lebih merupakan sebuah proses penanaman nilai-nilai yang diyakini oleh penguasa negara. Hal itu terlihat dengan jelas, bahwa setiap individu wajib mengikuti pendidikan politik melalui program P-4. Si individu sejak usia dini sudah dicekoki keyakinan, yang sebenarnya adalah keyakinan kalangan penguasa. Yaitu mereka harus mengikuti P-4 semenjak memasuki SLTP, kemudian ketika memasuki SMU, memulai kuliah di Perguruan Tinggi, memasuki dunia kerja, dan lain sebagainya. Proses pendidikan melalui media massa, barangkali, sedikir lebih terbuka dan si individu dapat dengan leluasa utnuk menentukan pilihannya menyangkut informasi yang mana yang dapat dipertanggungjawabkan kebenaran dan ketepatannya.


Sumber: Gaffar Afan, Politik Indonesia (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1999).

SOSIALISASI POLITIK SEBAGAI WAHANA PEMBENTUKAN BUDAYA POLITIK

Proses pembentukan budaya politik dilakukan denga apa yang disebut dengan sosialisasi politik. Yaitu, proses penerusan atau pewarisan nilai dari satu generasi ke generasi berikutnya. Sistem nilai, norma, dan keyakinan yang dimiliki oleh sebuah generasi dapat diturunkan kepada generasi berikutnya melalui berbagai media, seperti: keluarga, sanak-saudara, kelompok bermain, sekolah (mulai dari Taman Kanak-kanak sampai Perguruan Tinggi). Kemudian, setelah selesai pendidikan, diteruskan melalui lingkungan kerja dan ditopang oleh media yang lain, seperti: koran, majalah, radio, televisi, san lain sebagainya. Apa yang dikemukakan tersebut merupakan agent dari sosialisasi politik.

Keluarga merupakan agent pertama yang sangat menentukan pola pembentukan nilai politik bagi seorang individu. Di dalam keluarga ditanamkan bagaimana menghargai otoritas ayah dan ibi serta orang yang lebih tua; ditanamkan pula nilai-nilai atau keyakinan politik dari kedua orang tua, secara langsung atau tidak. Anak dapat mendengarkan pembicaraan orang tua mengenai partai atau organisasi yang di situ orang tua terlibat aktif, partai atau calon mana yang dipilih pada Pemilihan Umum terakhir. Anak juga dapat menyaksikan peristiwa-peristiwa politik yang diminati kedua orang tuanya. Kalau orang tuanya Golkar, tentu saja atribut Golkar seperti, symbol, tanda gambar, seragam, atau pamphlet/leaflet dari Golkar, akan nampak di rumah. Bahkan tidak mustahil rumahnya dicat kuning. Kalau orang tuanya PPP, di rumah tersebut akan diwarnai dengan atribut PPP. Begitu pula kalau orang tuanya aktivis PDI, maka warna merah dengan tanda gambar banteng akan mendominasi rumah serta atribut (topi, jaket, baju, kaos) orang tuanya. Dari sinilah nilai-nilai politik ditanamkan kepada anak.

Dalam keluarga yang berasal dari Islam Santri, tentu saja ditanamkan nilai-nilai keislaman yang sangat tinggi dengan segala atribtu yang melekat di dalamnya. Dan dari sini pula sikap orientasi politik anak terbentuk. Anak akan mendapat pelajaran politik dari saudaranya yang terdekat. Sebuah keluarga yang menekankan kepatuhan dan hormat kepada orang tua secara kental, bisa jadi akan membentuk kepribadian anak yang takut mengambil inisiatif dalam kehidupan sehari-hari. Sebaliknya, sebuah keluarga yang terbuka dan memberikan peluang kepada anak untuk ikut terlibat dalam diskusi keluarga, akan membentuk kepribadian individu dan demokratik pula.

Di luar rumah, anak akan bergaul pula dengan teman-teman yang ada disekitar rumahnya. Anak-anak di luar Jawa sudah biasa kalau pulang sekolah akan bermain di lapangan mengadu laying-layang, kemudian sore hari mengaji di surau atau langgar. Di Jawa, anak-anak juga sering di-umbar , mereka dibiarkan bermain sesuai dengan kehendak hatinya. Pada kesempatan itulah tidak jarang anak menemukan jati dirinya, termasuk semangat petualangan.

Ketika waktunya masuk sekolah, disadari atau tidak, anak pun belajar tentang nilai-nilai, norma dan atribut politik negaranya. Proses kognisi politik terbentuk semenjak anak menjadi murid Taman Kanak-kanak. Di sekolah ada gambar presiden, wakil presiden, dan tidak jarang para pemimpin yang lain. Ada pula gambar peta bumi negaranya, propinsi dan kabupatennya. Ketika memasuki Sekolah Dasar, pemahaman nilai-nilai yang bersifat kognitif mulai ditingkatkan melalui pelajaran sejarah, ilmu bumi, dan ilmu sosial lainnya. Selain itu, ada tambahan pembentuk jati diri orang lain yang sangat penting, yaitu latihan organisasi dankepemimpinan. Hal itu dilakukan dengan adanya ketua kelas, ataupun organisasi siswa di sekolahnya. Dengan organisasi, anak sudah mulai harus belajar bagaimana mengatur dan mengurus orang lain. Itulah politik.

Dengan semakin bertambahnya usia dan pengalaman, semakin bertambah pula kesempatan bagi individu untuk memperoleh sosialisasi politik yang lebih luas. Di sekitarnya terhampar sejumlah sumber pengetahuan yang lain selain sekolah, seperti media massa, termasuk TV, radio, majalah, dan surat kabar. Dia juga dapat terlibat dalam sejumlah kegiatan-kegiatan yang ada, apakah bergabung dengan organisasi kepemudaan, organisasi non-pemerintah, organisasi sosial, dan tentu saja partai politik. Bisa trjadi, nilai-nilai politik yang ditanamkan oleh kedua orang tuanya dipertentangkan dengan nilai-nilai yang diperolehnya di bangku sekolah atau masyarakat. Kemudian individu menemukan jati dirinya sendiri. Atau, bisa pula terjadi nilai-nilai yang ditanamkan oleh orang tuanya sesuai conform dengan nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat kebanyakan tempat ia berkecimpung dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan, bisa jadi nilai yang ada di masyarakat saling mengadakan reinforcing dengan nilai yang terdapat dalam keluarga.

Di lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat, anak memperoleh nilai-nilai politik. Dalam sebuah sistem di mana negara memainkan peranan yang sngat dominant, bahkan monopolistis, dalam pembentukan nilai dan norma politik, maka keyakinan dan nilai yang ditanamkan adalah keyakinan dan nilai yang diyakini oleh penguasa negara. Sementara itu, segala sesuatu yang berbeda dengan kehendak negara haruslah disingkirkan. Sebaliknya, dalam sebuah negara yang memberikan peluan kepada masyarakat untuk mandiri, akan terbentuk sebuah masyarakat yang memiliki tingkat kompetensi yang tinggi pula, yang diperlukan bagi pembentukan budaya politik yang demokratik dan stabil.


Sumber: Gaffar Afan, Politik Indonesia (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1999).

SISTEM STRATIFIKASI SOSIAL PADA ZAMAN JEPANG DAN SISTEM STRATIFIKASI SOSIAL PADA ZAMAN INDUSTRI MODERN

Sistem Stratifikasi Sosial pada Zaman Jepang

Sistem stratifikasi sosial pada zaman Jepang menempatkan golongan bumiputera di atas golongan Eropa maupun golongan Timur Asing, kecuali Jepang. Hal ini disebabkan oleh Jepang ingin yang mengambil hati rakyat Indonesia untuk membantu mereka dalam perang Asia Timur Raya.

Sistem Stratifikasi Sosial pada Zaman Industri Modern

Saat ini, industrialisasi modern tentu membawa dampak yang jauh lebih luas daripada industrialisasi pada masa Kolonial Belanda. Di perkotaan, terdapat pergeseran struktur pekerjaan dan angkatan kerja. Misalnya, sekarang muncul jenis-jenis pekerjaan baru yang dahulu tidak ada, yaitu jasa konsultan, advokasi, dan lembaga bantuan hokum. Angkatan jerja juga mengalami pergeseran, terutama dalam hal gender. Dahulu, tenaga kerja sangat dimonopoli kaum laki-laki. Namun saat ini, kaum perempuan telah berperan di segala bidang pekerjaan.

Berdasarkan hal tersebut, penentuan kelas sosial tidak lagi hanya ditentukan oleh aspek ekonomi semata, tetapi juga ditentukan oleh aspek lain, seperti faktor kelangkaan dan profesionalitas seseorang. Hal ini disebabkan oleh masyarakat industri yang memang sangat mengahrgai kreativitas yang mampu memberi nilai tambah dalam pekerjaa. Akibatnya, orang yang berpendidikan tinggi sangat dihargai oleh masyarakat industri. Sebaliknya, orang yang berpendidikan rendah ditempatkan pada strata bawah.

PRESIDEN MENGONTROL REKRUITMEN POLITIK

Sekalipun presiden –menurut Undang-Undang Dasar 1945- mempunyai kedudukan yang sama dengan beberapa lembaga tinggi Negara yang lain, seperti: DPR, DPA, BPK, dan MA, dalam kenyataannya presiden merupakan primus interpares, atau mempunyai posisi yang lebih menguntungkan, bahkan lebih penting ketimbang lembaga tinggi Negara lain tersebut. Hal ini terjadi karena presiden mempunyai kewenangan untuk mengontrol rekruitmen dalam rangka pengisian jabatan lembaga-lembaga tinggi Negara tersebut.

Anggota Majelis Permusyawaratan rakyat berjumlah 1.000 orang, yang terdiri dari 500 orang anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan 500 orang yang mewakili utusan daerah dan golongan. Diantara sejumlah 1.000 orang tersebut, mekanisme pengisian jabatannya adalah sebagai berikut:
- 400 orang dipilih melalui Pemilihan Umum.
- 200 orang diangkat langsung oleh presiden, yaitu 100 orang untuk anggota MPR yang berasal dari anggota DPR Fraksi ABRI, dan yang 100 orang lagi diangkat untuk mewakili golongan-golongan.
- 400 orang diusulkan oleh DPRD Tingkat I, setelah melalui pemilihan, dan keanggotaannya disahkan dengan surat keputusan presiden.

Pengisian jabatan lembaga tinggi negara yang lain juga dilakukan oleh presiden, sperti: Ketua dan Anggota Pertimbangan Agung, Ketua Mahkamah Agung dan Hakim-hakim Agung, serta Ketua dan Wakil Ketua Badan Pemeriksa Keuangan. Karena tidak diakuinya mekanisme checks and balances, Dewan Perwakilan Rakyat boleh dikatakan tidak memiliki kewenangan untuk mengontrol proses rekruitmen tersebut. Tentu saja, sekalipun tidak diperlihatkan dengan jelas, rekruitmen politik seperti itu merupakan cara yang paling efektif dalam rangka memberikan reward dalam arti yang luas kepada seseorang ataupun kelompok, yang akhirnya akan menentukan mobilisasi dukungan kepada presiden.

Sumber: Gaffar Afan, Politik Indonesia (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1999).

PRESIDEN MENGONTROL REKRUITMEN ORGANISASI POLITIK

Hal lain yang berhubungan dengan rekruitmen politik ini adalah kenyataan bahwa Lembaga Kepresidenan juga mengontrol secara langsung rekruitmen pengurus parta-partai politik di Indonesia. Siapa yang akan menjadi pimpinan partai politik, terutama ketua partai, secara langsung atau tidak, dokintrol olehnya. Sejumlah kasus yang berkaitan dengan kongres, muktamar, ataupun musyawarah nasional dari partai-partai polotik di Indonesia, dapat kita jadikan kasus penelaahan.

Pada 1968, Partai Muslimin Indonesia, yang kemudian menjadi Parmusi, mengadakan Mukatamar yang pertama di Malang, Jawa Timur. Arena muktamar dengan semangat demokrasi yang kuat kemudian memilih Mr. Mohammad Roem sebagai ketua. Tetapi, pihak pemerintah tidak menerima kehadiran Roem, karena beliau dan kawan-kawannya merupakan komponen yang sangat penting dalam tubuh partai Masyumi, sebuah partai yang dibubarkan Soekarno tahun 1960. Asisten Pribadi (Aspri) Presiden kemudian mengirimkan telegram yang mengingatkan PMI, agar konsensus dengan presiden dipegang. Akhirnya, Partai Muslimin Indonesia memilih H. Djarnawi Hadikusumo dan Lukman Harun sebagai ketua dan sekretaris jenderal partai tersebut. Tetapi, ketika menjelang diadakannya Pemilihan Umum yang pertama pada masa Orde Baru, kepemimpinan Djarnawi Hadikusumo dan Lukman Harun diambil alih oleh John Naro dan Imran Kadir atas bantuan Opsus-nya Ali Moertopo, dengan alas an: Djarnawi Hadikusumo dan Lukman Harun tidak dapat bekerja sama dengan pemerintah dan ABRI. Sebagai jalan keluar dari kemelut itu, akhirnya pemerintah menunjuk H.M.S. Mintaredja, S.H. sebagai ketua partai tersebut, yang kemudian diteruskan John Naro sampai tahun 1989.

Kasus yang sama dapat kita amati dalam rekruitmen Partai Nasional Indonesia, yang kemudian berubah menjadi Partai Demokrasi Indonesia. Ketika PNI mengadakan Kongres Nasional di Semarang, Jawa Tengah, tahun 1969, sudah hampir dapat dipastikan bahwa yang akan menjadi ketua partai tersebut adalah Hardi, S.H. Tetapi, karena Hardi dianggap tidak akan dapat bekerja sama dengan pemerintah, Opsus-nya Ali Moertopo secara langsung terlibat dalam kongres tersebut, dengan memaksa peserta kongres untuk memilih Hadisubeno, S.H. menjadi ketua. Sejak itu, rekruitmen kepemimpinan partai tersebut selalu ramai dan melibatkan pemerintah, seperti proses terpilihnya Soejardi sebagai Ketua PDI pada 1985, yang melibatkan Menteri Dalam Negeri, Soepardjo Rustam. Kemudian, kita juga mengetahui, bahwa Surjadi yang hampir secara mutlak mendapat dukungan pada Kongres PDI di Medan bulan Agustus 1993, kemudian digagalkan. Ketika partai tersebut mengadakan Kongres Luar Biasa di Surabaya pada akhir 1993, pemerintah juga terlibat secara langsung memaksa kongres memilih calon yang didukung oleh pemerintah. Hanya saja, KLB PDI menolak proses pemaksaan tersebut, dengan sepenuhnya mendukung Megawati Soekarno Putri sebagai ketua yang baru. Itu pun setelah melalui proses yang amat panjang dan melelahkan.

Bagaimana dengan rekruitmen Golongan Karya? Presiden adalah Ketua Dewan Pembina Golkar. Sehingga, boleh dikatakan bahwa presiden mempunyai hak veto untuk menentukan siapa yang akan menjadi ketua dan anggota pengurus yang lain bagi Golkar. Mekanisme Munas Golkar pada Oktober 1993 merupakan contoh konkret. Untuk pertama kalinya dalam sejarah partai tersebut ketuanya berasal dari kalangan sipil, yaitu H. Harmoko. Sementara itu, kalau kita mengamati Munas tersebut, tidak semua anggota delegasi, atau Dewan Pimpinan Daerah Tingkat I dan II menyatakan dengan tegas memilih Harmoko. Tetapi Dewan Pembina sudah menentukan siapa yang menjadi formatur pembentukan pengurus Golkar yang diketuai Menteri B.J. Habibie. Dugaan umum masyarakat yang sudah berkembang jauh sebelum Munas dilakukan, ternyata menjadi kenyataan, Harmoko terpilih oleh anggota formatur menjadi Ketua Golkar.

Barangkali, cerita tentang bagaimana keterlibatan Lembaga Kepresidenan –baik secara langsun maupun tidak (melalui sejumlah instansi tertentu di bawah presiden)- merupakan satu objek studi yang sangat menarik. Karena, spectrum keterlibatannya sangat luas. Hampir setiap rekruitmen politik, apakah dalam partai politik atau organisasi kepentingan, selalu mengkaitkan dengan Lembaga Kepresidenan. Munas (Musyawarah Nasional) Kamar Dagang Indonesia pada permulaan 1994 merupakan contoh yang sangat menarik.

Sumber: Gaffar Afan, Politik Indonesia (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1999).

POLITIK

Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya Dalila negara.[1] Pengertian ini merupakan upaya penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik.
Politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusional maupun nonkonstitusional.
Di samping itu politik juga dapat ditilik dari sudut pandang berbeda, yaitu antara lain:
• politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (teori klasik Aristoteles)
• politik adalah hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan negara
• politik merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di masyarakat
• politik adalah segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik.
Dalam konteks memahami politik perlu dipahami beberapa kunci, antara lain: kekuasaan politik, legitimasi, sistem politik, perilaku politik, partisipasi politik, proses politik, dan juga tidak kalah pentingnya untuk mengetahui seluk beluk tentang partai politik

KELAS SOSIAL

Kelas sosial lahir sebagai akibat dari adanya pembagian jenis pekerjaan. Kelas sosial terdiri atas orang-orang yang memiliki status sosial yang sama dan saling menilai satu sama lainnya sebagai anggota masyarakat yang sederajat. Setiap kelas sosial merupakan suatu subkultural yang memiliki sejumlah sikap, kepercayaan, nilai, dan norma perilaku yang berbeda dengan kelas sosial lainnya. Kelas sosial seseorang ditentukan oleh totalitas kedudukan sosial dan ekonominya dalam masyarakat, termasuk kekayaan dan penghasilan, jenis pekerjaan, pendidikan, identifikasi diri, prestise keturunan, partisipasi kelompok, dan pengakuan oleh orang lain. Garis batas kelas sosial tidak dapat dipahami secara jelas, karena hanya merupakan titik-titik pada garis kontinum (rangkaian kesatuan) status sosial. Jumlah anggota kelas sosial yang sebenarnya pun sulit ditentukan. Subkultur kelas sosial menyiapkan anak-anak untuk dapat mempertahankan status irang tua mereka.

Kelas sosial adalah kenyataan sosial yang penting. Ia sangat menentukan masa depan dan mewarnai perkembangan kepribadian seseorang. Kebahagiaan seseorang tidak tergantung pada kekayaan masyarakat, tetapi berkaitan dengan keberadaannya sebagai salah seorang yang termasuk dalam kelompok orang kaya di dalam masyarakatnya. Para penganut teori fungsional berpandangan bahwa kelas sosial menentukan hak-hak istimewa dan tanggung jawab para indivisu. Dengan cara demikian, beban tugas yang dianggap perlu dapat diselesaikan. Para ahli teori konflik menolak pandangan yang menyatakan bahwa hak-hak istimewa kelas sosial bersifat “fungsional”. Mereka malah menilai hak-hak tersebut sebagai sesuatu yang bersifat eksploitatif (dapat digunakan sebagai alat penindas).

Subkultur kelas sosial menumbuhkan etnosentrisme kelas sosial yang menghambat adanya pengertian tibal-balik di antara semua kelas sosial. Nilai-nilai standar yang ditulis dalam bentuk hukum sebagian besar diambil dari nilai-nilai standar kelas sosial menengah dan nilai-nilai tersebut diterima sebagai moralitas konvensional. Banyak perbedaan yang biasanya dikaitkan dengan keberadaan kelompok ras, kelompok agama, kelompo etnik, atau jenis kelompok lainnya sebenarnya merupakan perbeaan-perbedaan kelas sosial; hal yang membingungkan ini timbul karena sebenarnya kelompok ras, kelompok agama dan kelompok lainnyadapat saja tersebar secara tidak merata pada kelas sosial.

Kelas sosial membentuk pola-pola hidup individu; kelas sosial rendah cenderung bersikap liberal dalam kegiatan politik yang berkaitan dengan keuntungan ekonomis, namun bersikap konservatif dalam menerima perubahan sosial lainnya. Kecenderungan sikap tersebut berlaku terbalik di kalangan kelas sosial atas. Kelas sosial yang dianggap sebagai “kelas sosial baru” terdiri atas pejabat pemerintah dan orang-orang yang pekerjaannya berkaitan dengan bidang komunikasi. Golongan elit komunikasi tersebut memperoleh penghasilan yang bertaraf kelas sosial atas, namun tingkah laku sosial dan sikap politiknya lebih bersifat liberal daripada golongan elit dunia usaha.

Perhatian ilmu pengetahuan dewasa ini telah bergeser dari teori pertentangan kelas sosialnya Marx ke upaya individu utnuk mencapai mobilitas sosial dan upaya untuk mengurangi jurang perbedaan di anatar kelas-kelas sosial. Perbedaan kelas sosial belum dihapuskan dalam masyarakat sosialis. Masyarakat komunis bukanlah masyarakat yang menerapkan sistem kelas sosial yang sangat berbeda.



Sumber: Horton B Paul, Chester L Hunt, Sosiologi (Jakarta, Penerbit Erlangga, 1999).

KEKUASAAN KEPRESIDENAN DALAM SISTEM POLITIK INDONESIA (THE INDONESIAN PRESIDENCY)

Studi tentang kepresidenan ,asih sangat langka, karena belum ada ilmuwan politik ataupun Hukum Tata Negara yang melakukannya. Demikian juga, studi tentang Lembaga Tinggi Negara yang lain, seperti Dewan Pertimbangan Agung, Badan Pemeriksa Keuangan, dan Mahkamah Agung, masih jarang. Bagaimana peranan politik lembaga-lembaga tersebut dalam tatanan politik Indonesia? Bagaimana proses rekruitmennya dan bagaimana perwujudan kekuasaannya dalam struktur kekuasaan yang ada di Indonesia? Sampai sekarang, pertanyaan-pertanyaan ini belum ada yang mencoba menjawabnya dengan baik sesuai dengan kaidah keilmuan. Berbeda dengan studi tentang Dewan Perwakilan rakyat, sudah cukup banyak ilmuwan politik dan Hukum Tata Negara yang melakukan kajian terhadap lembaga ini, antara lain, Arbi Sanit (1985), Bintan Saragih (1992), dan Albert Hasibuan (1992).

Kelangkaan studi tentang Lembaga Kepresidenan yang dilakukan oleh kalangan ilmuwan politik itu dikarenakan oleh beberapa hal. Pertama, dalam sejarah kehidupan politimk yang sudah berjalan hampir setengah abad, Indonesia baru mempunyai dua orang presiden, yaitu Soekarno dan Soeharto. Akibatnya, para ilmuwan masih belum memiliki objek studi yang menarik. Hal ini berbeda sekali dengan studi ilmu politik di Amerika Serikta, misalnya, di mana objek yang bernama “Presidency” merupaka satu sub-bidang tersendiri yang menarik minat, baik ilmuwan Hukum maupun ilmuwan Tata Negara. Bagaimana perwujudan kekuasaan presiden, bagaimana hubungannya dengan Congress (Senate ataupun House of representative) dalam rangka mekanisme checks and balances, bagaimana karakter atau personality presiden yang satu dibandingkan dengan yang lain, serta bagaimana kebijaksanaan ekonomi, sosial politik dan luar negerinya, semua itu merupakan bahan studi yang tidak henti-hentinya dijadikan objek penelitian. Tentu saja, hal ini berkaitan dengan tersedianya dana yang snagat besar untuk melakukan penelitian ilmu politik, baik yang disediakan pemerintah maupun kalangan swatsa.

Kedua, berkaitan erat dengan struktur kekuasaan yang ada. Masyarkat ilmuwan enggan untuk melakukannya, karena hal itu menyangkut lembaga yang mempunyai kekuasaan dan sumber kekuasaan yang sangat besar dalam tatanan politik nasional. Kalau hasilnya tidak sesuai dengan interpretasi penguasa, tidak mustahil mereka yang melakuakn studi tersebut akan menghadapi konsekuensi yang kurang menggembirakan, baik dalam pengembangan karirnya maupun kehidupan sosial-politiknya dalam masyarakat.

Ketiga, berkaitan erat dengan akses kalangan ilmuwan terhadap objek itu sendiri. Karena lembaga ini baru memiliki dua orang presiden, akibatnya informasi dan data tentangnya tentu saja sangat terbatas. Sehingga, dengan demikian, jarang orang yang ingin menjadi pioner studi tentang lembaga ini. Padahal lembaga ini merupakan lembaga yang teramat penting, sampai-sampai tidak mungkin dikesampingkan sebagai bahan kajian keilmuan.


Sumber: Gaffar Afan, Politik Indonesia (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1999).

HIERARKI YANG TEGAR

Sebenarnya, sangat sulit untuk melakukan identifikasi buaday politik Indonesia, karena atributnya tidak jelas. Akan tetapi, satu hal yang barangkali dapat dijadikan titik-tolak untuk membicarakan masalah ini adalah adanya sebuah pola yang dominant, yang berasal dari kelompok etnis yang dominant pula, yaitu kelompok etnis Jawa. Etnis ini sangat mewarnai sikap, perilaku, dan orientasi politik kalangan elite politik di Indonesia. Oleh karena itu, katika Claire Holt, Benedict Anderson, dan James Siegel menulis Political Culture in Indonesia, pembicaraan awal yang dikemukakan adalah menyangkut konsep kekuasaan dalam masyarakat Jawa. Menurut analisis Anderson, konsep tentang kekuasaan dalam masyarakat Jawa berbeda sekali dengan apa yang dipahami oleh masyarakat Barat. Karena, bagi masyarakat Jawa, kekuasaan itu pada dasarnya bersifat konkret, besarannya konstan, sumbernya homogen, dan tidak berkaitan dengan persoalan legitimasi. Hal itu berbeda dengan masyarakat Barat, di mana kekuasaan itu bersifat abstrak dan berasal dari berbagai macam sumber, sseperti uang, harta kekayaan, fidsik, kedudukan, asal-usul, dan lain sebagainya. Kareena kekuasaan itu berasal dari sumber yang satu, maka sifatnya konstan. Dan selama sumber kekuasaan itu tetap memberikan kekuasaan, maka kekuasaan seorang penguasa akan tetap legitimate dan tidak perlu dipersoalkan.

Masyarakat Jawa, dan sebagian besar masyarakat lain di Indonesia, pada dasarnya bersifat hierarkis. Stratifikasi sosial bukan didasarkan atas atribut sosial yang bersifat materialistic, tetapi lebih pada akses kekuasaan. Ada pemilahan yang tegas antara mereka yang memegang kekuasaan, yang kuga disebut sebagai kalangan priyayi, dan rakyat kebanyakan. Hal itu diperlihatkan dengan cara berekspresi malelui bahasa dan gesture atau pola memperlaihatkan mimik/perilaku, yang diwujudkan lewat bahasa. Bahasa Jawa sendiri terdiri dari beberapa tingkatan, mulai dari kromo inggil, kromo madya, sampai ngoko. Atau, yang halus, setengah halus, dan kasar. Kalangan rakyat kebanyakan harus membahsakan atau mengekspresikan dirinya dalam bahasa yang halus kepada kalangan pemegang kekuasaan. Sebaliknya, kalangan pemegang kekuasaan dapat memegang bahasa yang kasar kepada rakyat kebanyakan. Pemilahan antara penguasa dan rakyat menjadi tegas, yang kemudian diungakapkan dengan istilah wong gedhei dan wong cilik.

Implikasi dari pola pemilahan seperti ini adalah, kalangan birokrat seringkali menampakkan diri dengan self-image atau citra-diri yang bersifat benevolent, yaitu dengan ungkapan sebagai pamong praja yang melindungi rakyat, sebagai pamong atau guru/pendidik bagi rakyatnya. Kalangan penguasa harus menampakkan diri sebagai kelompok yang pemurah, baik hati, dan pelindung dari seluruh rakyatnya. Akan tetapi, sebaliknya kalangan penguasa memiliki persepsi yang merendahkan rakyatnya. Karena para pamong sudah sangat baik, pemurah dan pelindung, maka sudah seharusnya rakyat patuh, tunduk, setia, dan taat kepada penguasa negara. Pembangunan yang dijalankan selama ini bukan dilakukan oleh rakyat. Tetapi, yang membangun adalah pemerintah, sebagai perwujudan dari kebaikan hati atau benevolensi kalangan penguasa. Oleh karena itu, tidak pada tempatnya rakyat tidak patuh, tidak tunduk, dan tidak setia, apalagi memprotes kegiatan pemerintah. Pemerintah adalah yang paling tahu. Sementara, rakyat tidak tahu apa-apa. Oleh karena itu, mereka harus ditatar melalui berbagai penataran.

Adapun implikasi negative dari citra-diri seperti itu dalam kebijaksanaan public. Kebijaksanaan public merupakan domain atau kompetensi sekelompok kecil elite yang ada di Jakarta atau di ibukota propinsi. Yang membentuk semua agenda public, juga yang memformulasikan kebijaksanaan public adalah kalangan pemerintah, baru kemudian disesuaikan dan disahkan oleh DPR. Rakyat memperoleh proses alienasi, bahkan tersisihkan dari proses politik. Tidak ada diskusi publik, mengapa kebijaksanaan itu harus ditempuh? Apakah memang perlu? Akan tetapi, ketika kebijaksanaan public itu sampai pada tahap implementasi kebijaksanaan, rakyat diwajibkan untuk ikut terlibat di dalamnya. Hampir smeua Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah dibentuk melalui proses seperti itu. dan yang lebih menarik lagi untuk diperbincangkan adalah: berapa banyak kewenangan yang diberikan kepada pemerintah dengan Undang-Undang, karena Undang-Undang tersebut kemudian harus diwujudkan dengan Peraturan Pemerintah, Surat Keputusan Presiden, Instruksi Presiden, Surat Keputusan Menteri, Instruksi Menteri, sampai ke tingkat pemerintahan yang lebih rendah melalui Surat Keputusan Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I, dan Surat Keputusan Bupati/Kepala Daerah Tingkat II. Contoh konkret akan hal ini snagat banyak, sehinggabhampir tidak mungkin kita ungkapkan satu per satu. Misalnya, kebijaksanaan tata niaaga cengkeh, tata niaga jeruk, penggunaan urea tablet, mobil nasional, seragam sepatu siswa, wajib nonton Sea World, danlain sebagainya. Sementara itu, kita semua mengetahui, bahwa kebijaksanaan tersebut membebeani rakyat dan menguntungkan segelintir penguasa yang mampu memperoleh akses terhadap kalangan penguasa.



Sumber: Gaffar Afan, Politik Indonesia (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1999).

DEMOKRATISASI KEHIDUPAN POLITIK

Betapa besar kekuasaan kepresidenan di Indonesia. Kekuasaan tersebut di samping bersumber secara langsung dari konstitusi, juga karena mekanisme penyelenggaraan pemerintahan yang belum jelas, terutama yang menyangkut rekruitmen politik jabatan lembaga tinggi negara serta hubungan antara lembaga-lembaga tinggi negara tersebut.

Pertanyaannya: apakah keadaan seperti ini harus dipertahankan terus-menerus atau perlu diubah? Tentu saja, jawabannya tergantung dari sudut pandang mana kita melihat. Bagi kalangan yang melihat bahwa mekanisme yang ada sekarang ini sudah mampu menciptakan suatu sistem politik yang stabil serta telah memperlihatkan daya tahan yang sangat baik untuk menjaga keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia, terlebih lagi mereka yang, baik secara langsung maupun tidak, telah memperoleh manfaat sosial-ekonomis dan politik, tentu saja akan merasa bahwa kondisi dan mekanisme seperti sekarang inilah yang terbaik.

Namun, bagi mereka yang mempunyai pandangan bahwa, bagaimanapun juga, kekuasaan harus dibatasi agar tidak menimbulkan hal-hal negative, seperti penyalahgunaan kekuasaan, otoritarianisme, korupsi, dan lain sebagainya, sudah saatnya kita mengadakan peninjauan kembali terhadap mekanisme kekuasaan.

Oleh karena itu, sudah waktunya diadakan proses demokratisasi sistem politik Indoneisa. Hal tersebut dapat ditempuh melalui beberapa cara, yaitu menyangkut:
- Pembatasan berapa kali terpilih kembalinya presiden
- Perlu menciptakan mekanisme checks and balances


Sumber: Gaffar Afan, Politik Indonesia (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1999).

BUDAYA POLITIK INDONESIA: Makna dan Perwujudannya

Konsep budaya politik baru muncul dan mewarnai wacana ilmu politik pada akhir Perang Dunia II, sebagai dampak perkembangan politik Amerika Serikat. Sebagaimana banyak diungkapkan oleh banyak kalangan ilmuwan politik, setelah PD II selesai, di Amerika Serikat terjadi apa yang disebut revolusi dalam ilmu politik, yang dikenal sebagai Behavioral Revolution, atau ada juga yang menamakannya Behavioralism. Terjadinya Behavioral Revolution dalam ilmu politik adalah sebagai dampak dari semakin menguatnya tradisi atau madzhab positivisme, sebuah paham yang percaya bahwa ilmu sosial mampu memberikan penjelasan akan gejala sosial seperti halnya ilmu-ilmu alam memberikan penjelasan terhadap gejala-gejala alam, dalam ilmu sosial, termasuk ilmu politik. Paham ini sangat kuat diyakini oleh tokoh-tokoh besar sosiologi, seperti Herbert Spencer, August Comte, juga Emile Durkheim. Paham positivisme merupakan pendapat yang sangat kuat di Amerika Serikat semenjak Charles E. Merriam mempeloporinya di Universitas Chicago, yang kemudian dikenal sebagai The Chicago School atau Madzhab Chicago, yang memulai pendekatan baru dalam ilmu politik (Somit and Tannenhaus, 1967; Almond and Verba, 1963; Almond, 1990).

Selain itu, salah satu penopang lainnya Behavioral Revolution ini adalah muncul dan berkembangnya kecenderungan baru dalam dunia penelitian, yaitu kecenderungan untuk mengadakan penelitian survey (survey research). Penelitian ini dapat menjangkau responden dalam jumlah yang sangat besar, guna memahami sikap, orientasi, dan perilaku dlaam kalangan masyarakat disertai latar belakang sosial, ekonomi, dan politiknya. Biasanya, penelitian survey ini banyak dilakukan oleh mereka yang terlibat dalam usaha menelusuri opini publik dalam rangka pemilihan presiden, senator, dan gubernur di Amerika Serikat. Oleh karena itu, tidak heran kalau di Amerika Serikat kemudian muncul sejumlah lembaga peneliti opini publik dengan mengadakan pengumpulan pendapat atau yang dikenal sebagai public opinion poll, seperti misalnya Gallup Poll, Haris Poll, dan biasanya mereka bekerja sama dengan media massa yang ada, seperti radio, jaringan TV (seperti ABC, CBS, NBC, dan kemudian CNN) dan lain-lain. Sejalan dengan itu, di Amerika Serikat muncul pula sebuah revolusi baru dalam bidang teknologi dan rekayasa, yaitu ketika ditemukannya teknologi komputer. Dengan bantuan komputer, analisis dapat dilakukan dalam waktu yang singkat dan mencakup jumlah yang tak terbatas. Kalangan ilmuwan memperoleh kemudahan yang sangat berarti dalam menganalisis data, dan dengan bentuk analisis statistic yang sangat kompleks atas bantuan komputer. Maka, kalangan ilmuwan mampu memberikan penjelasan-penjelasan, terlibat dalam model building dalam memahami masalah sosial, ekonomi, dan politik.

Salah satu dampak yang menyolok dari behavioral revolution ini adalahmunculnya sejumlah teori, baik yang bersifat grand maupun pada tingkat menengah (middle level theory). Kemudian, ilmu politik diperkaya dengan sejumlah istilah, seperti misalnya sistem analysis, interest aggregation, interest articulation, political socialization, politic culture, conversion, rule making, rule application, rule adjudication, dan lain sebagainya.

Teori tentang buaday politik merupakan salah satu bentuk teori yang dikembangkan dalam memahami sistem politik. Teori tentang sistem politik yang diajukan oleh david Easton, yang kemudian dikembangkan pula oleh Gabriel Almond, ini mewarnai kajian ilmu politik pada kala itu (1950-1970). Dan di antara kalangan teoretisi dalam ilmu politik yang snagat berperanan dalam mengembangkan teori kebudayaan politik adalah Gabriel Almond dan Sidney Verba, ketika keduanya melakukan kajian di lima negara yang kemudian melahirkan buku yang sangat berpengaruh pada 1960-an dan 1970-an, yaitu The Civic Culture. Civic Culture inilah yang menurut Almond dan Verba merupakan basis bagi budaya politik yang membentuk demokrasi.

Budaya politik, kata Almond dan Verba, merupkana sikap individu terhadap sistem politik dan komponen-komponennya, juga sikap individu terhadap peranan yang adapat dimainkan dalam sebuah sistem politik (1963, H. 13). Budaya politik tidak lain daripada orientasi psikologis terhadap objek sosial, dalam hal ini sistem politik kemudian mengalami proses internalisasi ke dalam bentuk orientasi yang bersifat cognitive, affective dan evaluative.

Orientasi yang bersifat cognitive menyangkut pemahaman dan keyakinan individu terhadap sistem politik dan atributnya, seperti tentang ibukota negara, lambing negara, kepala negara, batas-batas negara, mata uang yang dipakai, dan lain sebagainya. Sementara itu, orientasi yang bersifat affective manyangkut ikatan emosional yang dimiliki oleh individu terhadap sistem politik. Jadi, menyangkut feelings terhadap sistem politik. Sedangkan oientasi yang bersifat evaluative menyangkut kapasitas individu dalam rangka memberikan penilaian terhadap sistem politik yang sedang berjalan dan bagaiman peranan individu di dalamnya.

Dengan sikap dan orientasi seperti itu, kemudian terbentuklah budaya politik yang berbeda. Dalam sebuah masyarakat yang sikap dan orientasi politiknya didominasi oleh karakteristik yang bersifat cognitive akan terbentuk budaya politik yang parochial. Sementara dalam sebuah masyarakat yang sikap dan orientasi politiknya diwarnai dengan karakteristik yang bersifat efektif, akan terbentuk budaya politik yang bersifat subjective. Akhirnya, masyarakat yang memiliki kompetensi politik yang tinggi, di mana warga masyarakat mampu memberikan evaluasi terhadap proses politik yang berjalan, akan terbentuk sebuah budaya politik yang bersifat partisipatif.


Sumber: Gaffar Afan, Politik Indonesia (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1999).

STATUS PEKERJA “BERKERAH BIRU” DAN PEKERJA “BERKERAH PUTIH”

Istilah “kerah biru” (blue collar) dan “kerah putih” (white collar) mulai digunakan pada saat para pekerja tangan mulai memakai baju biru, sedang para pekerja kantor dan orang-orang profesional hanya mengenakan baju berwarna putih. Meskipun mode warna pakaian telah menagalami perubahan, namun istilah itu masih tetap digunakan sebagai lambing kelas sosial pekerja dan kelas sosial menengah. Penghasilan yang bersumber dari jenis pekerjaan kasar dan jenis pekerjaan halus dewasa ini sangat bertumpang-tindih. Penghasilan tertinggi (di antara beberapa tingkat penghasilan yang ditunjukkan) adalah yang diperoleh para pekerja yang berketrampilan dan penghasilan yang terendah adalah yang doperoleh oleh para pekerja administrasi, sedangkan penghasilan tenaga penjual berada di antara keduanya. Sebuah studi yang bartu-baru ini dilakukan menemukan bahwa seperdua dari seluruh pekerja administrasi danbahkan lebih dari seperdua dari seluruh pekerja trampil (58 persen) menempatkan diri mereka pada “kelas sosial pekerja” atau “golongan miskin” (Jackman and Jackman, 1982|). Dengan demikian, jelaslah bahwa batas-batas antara kelas sosial rendah menjadi kabur, sehingga pembagian yang membeda-bedakan “pekerja berkerah biru” dan “pekerja berkerahputih” bukan lagi petunjuk yang bisa dipercaya.

Beberapa orang berpandangan bahwa pekerja “berkerah putih” sedang mangalamai proses “proletarianisasi”, yakni bahwa mereka sementara menyerap sikap dan perilaku yang dianggap sebagai sikap dan perilaku yang khas dari pekerja “berkerah biru” (Braver,an, 1974; Wright; dkk., 1982). Studi-ulang “Middletown”, yang baru-baru ini dilakukan, melaporkan bahwa orang-orang kelas sosial menengah tampak lebih menyerupai “kelas sosial pekerja” dalam segi sikap dan gaya hidup antara tahun 1937 dan 1978 (Caplow, Bahr, dan Chadwick, 1981). Upaya penggabungan diri dari serikat kerja (unionisasi), yang semakin luas diterima oleh parea pekerja “berkerah putih”, dapat dikatakan sebagai bukti adanya proses “proletarianisasi” kelas sosial menengah.

Apakah proses semacam itu benr-benar sedang berlangsung diperdebatkan (Kelly, 1980). Pandangan yang berlawanan menyatakan bahwa kelas sosial pekerjalah yang sedang mengalamai proses “borjuisasi”, dan gaya hidup kelas sosial menengah (borjuis) (Goldthrope dan Lockwood, 1963, hal. 133). Beberapa studi yang dilakukan belakangan ini juga menyatakan bahwa dikalangan para pekerja “berkerah biru” terdapat perkembangan identifikasi diri sebagai kelas sosial menengah (Cannon, 1980).

Para sarjana bisa saja memperdebatkan apakah kelas sosial pekerja yang sedang mengalami proses “borjuisasi” ataukah kelas sosial menengahlah yang sementara mengalami proses “proletarianisasi”. Terlepas dari itu, kenyataannya gaya hidup kedua kelas sosial itu semakin mendekati persamaan. Kebanayakan ahli sosiologi sependapat dengan “teori konvergensi” ini bahwasanya kelas-kelas sosial semakin memiliki persamaan dalam segi gaya hidup (Blumberg, 1980). Meskipun demikian, beberapa perbedaan nyata masih tampak.


Sumber: Horton B Paul, Chester L Hunt, Sosiologi (Jakarta, Penerbit Erlangga, 1999).