Total Tayangan Halaman

Sabtu, 28 November 2009

Cerpen (Azzahra Salamah)

AZZAHRA SALAMAH


“Sem…! Sem…! Tunggu!.”. Michael masih asik mengejarku sampai pelataran rumahku.
“Ada apa lagi Miche? Tolonglah Michael... Tolong mengerti!.”
“Mengerti? Apa yang aku bisa mengerti dari kamu? Tolonglah kamu yang mengerti aku Samantha... Aku sungguh sayang padamu! Tolong aku, saat ini aku seperti orang bingung!.”
“Miche, sungguh... Sungguh sedikitpun aku tidak bermaksud melukai hatimu. Aku pun tahu, kamu begitu lembut padaku. Tapi tolonglah aku kali ini Miche, tolong mengerti aku. Hargai keputusanku.” ucapku dengan nada sedikit menenangkan. Berharap Miche dapat luluh.
“Sem, tolong terangkan padaku, bagian mana yang sewajarnya aku mengerti darimu? Beberapa hari ini kamu menghilang begitu saja. Lalu tadi pagi minta kita berjumpa. Aku bermaksud melepaskan rindu dan tanyaku. Namun rupanya, kamu hanya mematung. Lalu kamu bilang ‘Kita putus!’, lalu kamu terisak meninggalkanku. Tolonglah kamu jelaskan padaku bagian mana yang harus aku mengerti?!.” paparnya sambil mengguncang-guncangkan pundakku.
Aku menghela napas dalam. “Miche, aku tahu, ini semua tak beralasan untukmu. Tapi tolong kali ini kamu pahami aku, sebagaimana selama ini kamu begitu mengerti aku. Saat ini aku pun begitu rapuh untuk menjelaskan semuanya kepadamu. Bukan akibat kerapuhanku untuk mengatakan sebabnya, tapi karena hatiku rapuh jikalau nantinya aku merapuhkan hatimu yang lembut Miche... .”
“Lalu, apa bedanya kini? Sem, saat ini aku pun rapuh. Seminggu aku menanti kehadiranmu. Lalu kamu putuskan aku begitu saja tanpa alasan yang jelas. Sungguh remuk aku Sem!.”.
Aku hanya bisa diam terpaku. Berharap Miche berlalu tanpa memperdulikan aku yang kikuk ini walaupun dengan seribu tanda tanya dalam hatinya. Tapi nyatanya, ia tak beranjak seinci pun! Itulah Miche, sang pujaan hatiku yang sangat aku idolakan. Rasa sesak merasuki hatiku dalam saat aku lontarkan kata putus padanya. Tak logis bagiku untuk membuang orang sebaik Miche. Tapi kini terasa logis, sangat logis. Ini jalan yang aku pilih, dan aku tidak boleh setengah-setengah.
“Baiklah Miche, aku akan segera memberitahumu. Tapi bukan sekarang.”
“Kenapa Sem? Apa bedanya sekarang ataupun nanti? Semakin cepat aku tahu alasanmu, tentu semakin baik rasanya.”
“Waktu. Aku butuh waktu untuk menjelaskannya. Tidak hanya sekedar bicara Miche... .”
“Oke...! Oke...! Aku akan mencoba mengerti, walaupun sejujurnya aku tidak dapat menerka jalan pikiranmu. Aku akan selalu menunggu jawaban darimu Sem, sayangku.”. Michael meninggalkanku dalam isakku. Ia sama sekali tak menoleh ke arahku. Bukan karena acuh, namun aku tahu, sesungguhnya hatinya begitu remuk sehingga tak sanggup memandangku lagi. Aku pun begitu hancur saat ia ditelan jalan, rasanya aku tak lagi berpijak pada bumi ini. Tubuhku terasa sangat ringan.

☺☺☺☺☺

Tiga tahun aku tak pernah lagi berjumpa dengan pria yang selalu menyanjungku. Pria yang selalu memberikan pencerahan mengenai hidup untukku. Pria yang begitu memahamiku sampai persoalan kecil. Pria yang begitu sempurna dimataku, walaupun aku menyadari tak ada yang sempurna di dunia ini. Rasanya ingin sekali aku berjumpa lagi dengannya. Hasrat untuk memberitahukan alasan mengapa waktu itu aku begitu cepat melepasnya serasa mencambukku. Tapi apa yang bisa aku perbuat? Yang aku tahu belakangan ini, Michael sudah tidak tinggal bersama orang tuanya lagi. Tidak tahu alasan apa ia memilih jalan itu. Entah urusan pendidikan, atau pun sekedar menenagkan diri. Hanya itu yang aku tahu.
Aku pun mulai rindu pada sahabat lamaku, Fatimah. Bahkan, lebih dari aku tak melihat Michael lagi. Hampir empat tahun ini, aku hanya bercengkerama dengan Fatimah lewat surat. Di sana belum ada koneksi internet, atau pun telepon genggam. Ia tinggal di desa yang sulit di jangkau saluran-saluran signal seperti itu. Akhirnya aku memutuskan, untuk mengunjunginya.

☺☺☺☺☺
Pak Soleh, supirku, bergegas keluar dari mobil menuju pohon besar di ujung jalan untuk melepaskan penatnya.
“Sudah lega, Pak??.” tanyaku dengan senyumku yang ternilai manis.
“Sudah Non, maaf yah Bapak jadi menunda perjalanan... .”
“Tidak masalah Pak, kan panggilan alam? Hehhee...”.
Baru saja Pak Soleh ingin melayangkan kakinya lagi untuk menancap gas, aku tersentak menghentikannya. Aku terbirit keluar dari mobil.
“Sem...??.”. Seorang pria yang lama telah ku kenal yang tengah bertengger di liang pintu gereja mungil di desa yang tak jauh dari rumah sahabatku Fatimah, memperhatikanku dengan seksama. Lalu ia berjalan perlahan menghampiriku dengan tatapan tak luput terus menjamahi seluruh tubuhku.
“Sem...?? kamu kah itu??.”.
Aku hanya membalasnya dengan senyum yang merekah.
“Senang rasanya bertemu denganmu lagi Miche... .”.
Sampai tinggal beberapa puluh centi lagi, Michael menghentikan langkahnya. Belum pernah jikalau aku berjumpa dengannya memiliki jarak sejauh ini.
“Oh Tuhan Yesus... Inikah jawaban-Mu atas doa ku? Tapi mengapa oh Tuhan, mengapa aku bertemu dengannya dalam keadaan seperti ini?.”.
Michael mengusar-gusarkan tangannya ke kepalanya. Ia benar-benar seperti pertama kali melihatku. Aku risih setiap pandangannya menggeluti seluruh tubuhku. Namun aku tak heran. Aku maklum.
“Maafkan aku Miche, waktu itu aku tidak pernah siap memberitahumu akan keadaanku saat ini. Aku tidak sanggup jikalau kelak hatiku malah akan goyah. Saat aku benar-benar mantap untuk memberitahumu, jelas malah kamu tidak aku dapati. Sempat terdengar kabar, kamu pindah ke sebuah desa. Kini aku paham, kamu pindah ke desa ini kan?.”. Michael diam sesaat.
“Ya, dan jelas pula kamu tahu desa apa ini?.”
“Tentu Miche, ini desa tempat aku berlibur. Yang waktu itu aku ceritakan padamu.”
“Ya, aku begitu gembira Sem, saat kamu begitu bersemangat menceritakan dan mendeskripsikan keindahan desa ini. Sehingga aku merencanakan untuk tinggal di sini beberapa lama untuk menenagkan jiwaku Sem... . Tahukah kamu Sem? Aku sungguh tenang berada di desa ini. Terutama di Gereja mungil ini.” paparnya menujuk ke arah gereja itu.
“Aku begitu tenang di sini, namun tak seharipun aku tak memikirkanmu Sem, aku selalu berdoa agar kelak aku mendapatimu besertajawaban dari seribu tanyaku. Hhh… Sekarang rupanya doaku didengar-Nya, aku mendapatimu beserta jawabannya. Tapi Sem, bisakah kamu memberitahuku mengapa kamu begini?.” tambahnya. Aku menghentikan senyumku, saat aku terpaku melihat air matanya yang mulai berlinang. Ya, dia masih selembut dahulu, aku tahu, ia pasti masih sangat sayang padaku. Begitu pula aku yang tak pernah bisa untuk menghilangkan rasa sayangku padanya.
“Baiklah Miche, marilah kita duduk-duduk dahulu, agar percakapan kita menjadi lebih relax!.” ujarku berusaha menenangkannya. Ia menurutiku, ia berjalan di depanku, ia membimbingku duduk di bangku depan gereja, tidak persis di depannya, ada jarak beberapa meter dari pelataran gereja mungil itu.
“Waktu itu, aku berlibur ke desa ini. Tentunya sudah pula kamu tahu Miche, Papahku mengirimku ke kediaman kerabat lamanya yang selalu ia ceritakan itu, kerabatnya yang begitu rendah hati dan bersahaja. Keluarga sederhana yang sebenarnya memang sangat sederhana itu. Semula aku tak suka, sebab, aku kira aku akan tinggal di sebuah villa. Nyatanya aku tinggal di sebuah rumah mungil berdiamkan lima penghuni, enam beserta aku…”
“Aku tahu itu Sem, ayolah kamu ceritakan saja ke intinya!.” ucap Michael menghentikan ceritaku.
“Sabarlah sedikit Miche… Kiranya kalau aku tak menceritakan semua ini, alasan yang aku miliki takkan logis untukmu. Kelak kamu akan menanyakan sebab lainnya, sehingga aku tetap saja akan menciratakan ini.” sahutku penuh rasa meyakinkan.
Michael hanya terdiam.
“Miche, di dalam keluarga itu, Abi Harfan serta Ummi Halimah memiliki satu anak perempuan yang sebaya denganku, namanya Fatimah. Sejak awal berbincang dengannya, aku amat tertarik akan kesantunannya. Sesungguhnya kamu pun tahu Miche, aku menyukai pelajaran baru dalam hidupku. Begitulah aku menyayangi Fatimah, wanita yang paling lembut yang pernah aku kenal.”
“Aku tahu, lantas, apa bedanya dengan kamu Samantha? Kamu adalah wanita terlembut yang pernah aku kenal pula.”
“Terima kasih Miche! Hmm… aku yakin, jikalau kamu bertemu dengannya, ucapanmu itu akan berubah. Mari aku lanjutkan ceritaku. Fatimah, aku begitu akrab dengannya. Walaupun agama kami jelas berbeda, tak jarang kami saling bertukar pikiran tentang agama kami masing-masing. Ingatkah kamu Miche, waktu aku berlibur, itu adalah bulan Puasa mereka. Namanya bulan suci Romadhon. Tak berbeda dengan puasa yang selama ini kita jalani setiap menyambut Pascah. Hanya saja, yang aku perhatikan, mereka mulai berpuasa pada saat datangnya fajar, dan membatalkannya saat terbenamnya matahari. Aku pun rutin ikut mereka berpuasa, aku hanya ingin tahu bagaimana rasanya berpuasa dalam agama mereka. Akupun tak jarang memperhatikan cara mereka beribadat. Tentunya kamu pun tahu Miche, aku begitu menyukai wawasan luas hidup ini. Sehingga Dan aku pun makin tertarik untuk mengetahui agama mereka. Aku terjun langsung setiap kali aku bertanya ‘apa yang kamu lakukan Fatimah? Untuk apa itu? Apa yang kamu baca itu Fatimah, kitab kah itu?’. Hingga saat malam itu datang Miche, malam di mana malam terakhir aku harus tinggal di sana. Aku kalut Miche, aku masih ingin tahu pejalaran baruku itu. Tapi nyatanya, aku pulang. Tepat saat kamu menjemputku.”
“Ya, aku ingat itu, aku begitu rindu padamu. Aku ingat sekali, aku memelukmu erat, enggan melepaskannya.”.
Aku hanya tersenyum simpul mengenang itu.
“Tahukah kamu Miche, aku tak henti-hentinya untuk tidak berhenti tali silaturahmiku dengan Fatimah. Semenjak itu kami menjadi sahabat pena. Dia sering menanyakan tentang agama kita Miche, sampai-sampai aku hanyut dalam perbincangan antar agama ini. Miche, kini jelaslah semuanya.”
“Tidak Sem, belum. Belum puas untukku. Kiranya jelaskanlah sedikit lagi lebih terperinci! Rasanya, belum semua kamu ceritakan kisahmu ini.”
“Hmm… Yah Miche, aku mulai tertarik pada agama yang Abi, Ummi, serta Fatimah anut. Aku mulai mencoba sedikit demi sedikit benar-benar terjun ke dalamnya. Sampai Papah mengetahui itu. Dan semuanya begitu jelas saat Papah mengatakan, hak memilih agama ia tumpahkan sepenuhnya untukku. Tanpa basa-basi, aku di Islamkan. Tanpa sepengetahuanmu. Dan, saat aku mulai mempelajari lebih dalam sedikitnya, selama satu minggu aku menghilang, aku memikirkan tentang hubungan kita yang diharamkan dalam Islam. Kita berbeda agama Miche… Kiranya itu sudah lebih dari cukup.”.
Michael merunduk, aku tahu, rasa sesal melingkupi dirinya, bukan penyesalan atas perpindahan agamaku ini, tapi penyesalan mengapa ia membiarkan aku pergi berlibur ke desa ini.
“Baiklah Sem, aku hormati keputusanmu, sebagaimana aku menghormati agama barumu ini. Tapi, izinkanlah aku untuk terakhir kalinya jalan bersamamu di desa ini. Setidaknya, cukup atau tidak, inilah perpisahan kita yang sesungguhnya.”
“Tidak Miche. Maafkanlah aku, aku tidak bisa.”.
Miche mulai memukuli hatinya sendiri dengan umpatannya.
“Baiklah. Kalau begitu, aku hanya ingin sekedar memelukmu.”
“Maaf Miche… Mengertilah!”
“Baiklah Sem! Apa yang pantas kita hadiahkan untuk perpisahan kita ini?? Terangkan padaku!.”.
Aku menyodorkan kedua telapak tanganku, rupanya Michael tahu, aku haya ingin bersalaman padanya. Michael terdiam sesaat membiarkan telapak tanganku mematung dihadapannya. Saat aku sadar ia berusaha menyambarnya, aku mengatupkan telapak tanganku ke dadaku. Aku menjaga wudhuku seperti yang Fatimah biasakan seperti yang ia tulis dalam surat.
Michael beranjak meninggalkanku. Aku tahu, rasa kesal memadati hatinya. Akupun berbalik arah menuju mobilku untuk melanjutkan perjalanan. Belum sampai di liang pintu mobil…
“Sem! Aku mencintaimu… Sangat mencintaimu! Mengertilah…”.
Aku sesak sejenak, lalu aku berbalik untuk mengumbar senyum padanya.
“Terima kasih Miche, tapi ingatlah satu hal lagi! Namaku Zahra, Azzahra Salamah. Aku sekarang begitu menyukai nama itu Miche dibanding Samantha!”. Aku berbalik, angin yang kencang membuat jilbabku yang panjang berkibar, dan aku merasa lebih cantik, secantik-cantiknya wanita saat aku mulai mengenakannya.

Cerpen (Nenek Imah)

Nenek Imah


Aku tergontay lemas sesampainya di depan gerbang rumahku. Ooopsss!!! Tepatnya pagar. “Oh... Home sweet home!”.
Ku banting tas ranselku ke tempat tidur. Ku rebahkan tubuhku yang serasa memikul beban berat berpuluh-puluh ton. Ku pejamkan mata masih dalam keadaan berseragam parktikum lengkap. Tenang, tenang, tenaaaaaanggggg.................... sekali rasanya!. Hhh... akhirnya aku bisa beristirahat juga, setelah setengah hari berada di kampus mengurus hal ini dan itu. Saat aku benar-benar ingin terpejam, telepon genggamku berdering hebat. Ah..........!!! Mengganggu saja.

Baru aku ingin menekan keypad answer, deringan itu berhenti. Huft...! Dasar CuMi (Cuma Miscall). Ku baringkan kembali tubuhku pada pelatarannya. Hhh... Alhamdulillah, nikmat sekali rasanya.

“Tok... Tok...” ketukan pintu rumahku mengguncang kembali peristirahatanku. Malas sekali rasanya menengok siapa gerangan di liang pintu rumahku. Mengapa di saat-saat seperti ini tak ada seorang pun di rumah? Sehingga ada saja yang mengganggu waktu istirahatku seperti ini.

Ku buka pintu malas-malas. Dengan diiringi jawaban salamku atas ucapan salam dari sang tamu. Aku terkejut. Ku dapati Nenek Imah berdiri di liang pintu.

“Nek Imah?? Ada apa Nek?”. Nenek Imah tersenyum lebar melihatku. Hmm... kiranya apa yang membuat sang Nenek yang telah ‘reyot’ ini, si tua yang mungkin mudah ‘terhempas’ angin, berkunjung ke rumahku tengah hari seperti ini.

Ku lihat lamat-lamat, Nenek Imah mengurut-urut kakinya. Ya, tentu saja! Rumah kediaman Nenek Imah cukup jauh dari rumahku. Si tua ini? Ah... Tak sanggup aku membayangkan ia berjalan sendirian untuk berkunjung ke rumahku. Ada apa sebenarnya?.

Ku tuntun perlahan Nenek Imah ke bangku teras rumahku. Jalanan lengang diterpa terik matahari yang begitu menyengat. Jam baru menunjukkan pukul setengah dua siang.

“Ku buatkan minum sebentar yah Nek...”. Ku tinggalkan Nenek Imah sejenak ke dapur untuk membuat teh hangat. Ya, si tua itu pernah meberitahuku, ia begitu menyukai teh hangat.

“Silahkan di minum tehnya Nek!”. Nenek Imah tersenyum. Ku perhatikan perlakuan Nenek Imah yang tak biasa. Rasanya, ada yang berbeda. Si tua yang dulu ku kenal saat ku temui ia di sebuah taman, di saat ia tengah terengah-engah hendak pulang ke rumah itu, dulu masih cukup bugar. Aku masih ingat betul, waktu itu adalah pertemuan pertama kami. Semenjak aku mengantarnya ke rumahnya, kami menjadi akrab. Teriris rasanya hatiku, saat aku mengetahui, si tua itu bersemayam sendiri di rumahnya yang juga sederhana seperti rumahku. Tak terbayang rasanya, setua itu, ia harus mengurus dirinya sendiri. Bahkan, saat ia benar-benar seharusnya membutuhkan seseorang di sampingnya, ia tetap sendirian. Sempat terdengar olehku ucapannya yang pelan waktu itu, ia mengatakan bahwa ia sangat menyayangiku, ia tengah menganggapku sebagai cucunya sendiri. Ah... Nek Imah, iba sekali rasanya diriku ini melihat keadaanmu.

“Nek Imah ada perlu apa sampai datang ke rumah Cindy siang-siang begini? Bukankah lusa Cindy akan ke rumah Nenek... Atau Nenek lupa yah? Hahaha...”. Sedikit guyon ku lontarkan pada si tua ini. Ya, Nenek Imah memang sudah pikun. Aku rutin mengunjunginya setiap hari. Tetapi, semenjak mulai sibuk dengan tugas kuliah, aku tak teratur mengunjunginya. Sudah 5 hari ini aku tak mengunjunginya. Walaupun begitu, sesibuk apapun diriku, setiap hari minggu aku tak pernah abstain mengunjunginya. Dan hari minggu itu masih dua hari lagi.

Nenek Imah masih asik tersenyum. Ah... Senyum si tua itu! Sungguh membuat diriku semakin teriris. Senyum yang dimilikinya benar-benar indah, namun hampir tak tampak lagi keindahannya dimakan usia.

Aku tersentak memperhatikan wajah Nek Imah yang semakin sendu. Senyumku pun mulai pudar saat ku perhatikan mata Nek Imah begitu kosong.

“Nek Imah! Apakah Nenek sakit?”. Tanyaku penuh kepanikan.
Nek Imah menggeleng lembut. Lalu tersenyum lagi. Aku semakin heran. Aku benar-benar khawatir si tua yang ku sayangi layaknya Nenekku sendiri ini akan roboh dimakan penyakit.

“Nenek bilang saja sama Cindy kalau memang sakit...”. Sekali lagi, Nek Imah menggeleng, lalu tersenyum lebar.

Nek Imah meneguk teh yang kubuatkan. Tak ada gemetar lagi ditangannya saat ia mengangkat cangkir itu. Hmm... Ku rasa Nek Imah baik-baik saja. Tapi, ah! Ku rasa tidak juga, ada yang berbeda dari dirinya.

Baru ingin ku tanyakan lagi apa tujuan Nek Imah datang ke sini seusai ia meneguk habis tehnya, suara tahlil terdengar tidak jauh dari rumahku.

Ku lihat dirombongan paling depan, sang pemimpin, Pak Ustadz Harun menoleh ke arahku dengan senyumnya sambil terus bertahlil.

“Sedang apa Nak Cindy sendirian di sana? Baiknya Nak Cindy ikut kami memulangkan jenazah Nek Imah”.

Tubuhku seketika merinding hebat. Aku menoleh ke arah tempat Nek Imah duduk. Ah...! Kemana Nek Imah?. Ah...! Teh yang tadi diteguknya habis, masih utuh! Secangkir penuh! Rasanya tubuhku sebentar lagi akan ambruk. Belum sempat tubuhku ambruk, suara tahlil itu berderu semakin kencang ditelingaku. Ku lihat berduyun-duyun empat orang tetanggaku menggotong keranda. Terpampang jelas di sebuah bendera kuning.
Innalillahi wa inna ilaihi roji’un...
Siti Halimah Binti Mar’ud Bin Afh’an.

Cerpen (Sahabat)

Sahabat

Aku masih ingat, seminggu yang lalu ia masih tersenyum riang padaku. Mulutnya tak bisa berhenti, ada saja yang ingin ia ceritakan padaku. Telinga dan otakku sampai mual mendengar curhatannya yang tiada henti-hentinya setiap hari. Tapi, 2 hari ini ia tak masuk. Apa mungkin ia masih marah padaku?. Apa sebaliknya? Ia takut aku yang marah padanya. Ya Allah… aku harus bagaimana?.

“Wulan, mau ikut ga ke rumah Sinta?” ajak Maya menghentikan langkahku. Aku bingung. Apa aku harus menuruti ajakannya ini. Apa reaksi Sinta jika ia melihatku nantinya.
“Ga’ hari ini deh… Aku ada urusan”. Oh… maafkan aku sobat. Baru saja aku keluar gerbang sekolah. Ibnu sudah menstater motornya.
“Ibnu??” ucapku terperangah
“Makin manis aja kamu Lan! Yuk cepet naik, panas nih…”. Entah mengapa tiba-tiba saja Ibnu menjemputku. Tanpa segan aku banting tubuhku perlahan pada jok motornya.
“Mau langsung pulang, atau…” godanya
“Ke Mall dulu yuk?” pintaku tanpa segan. Ibnu menancap gasnya dengan cepat. Seperti ingin mengantar istrinya yang sudah pembukaan delapan. Oh Ibnu… kenapa hari ini engkau menjemputku?.

Sangat tidak enak rasanya panas-panas begini macet. Naik motor pula!. Sekilas kami melalui angkot yang di naiki Maya. Aku tersenyum padanya.

* * *
Tak ku sangka Sinta masuk hari ini. Aku langsung memburu teman sebangkuku itu. Baru saja aku meletakkan tasku, Sinta ngeloyor keluar kelas. Aku terperangah ditempat, aku bingung. Jam pelajaran pertama guru tak datang. Aku mencoba menegur Sinta yang sedari pagi belum menyapaku.
“Hai Sin… kamu sudah sembuh?” sapaku memulai pembicaraan. Sinta hanya tersenyum.
“Sin, kenapa sih? Aku salah apa sama kamu? Kenapa kamu ngediemin aku gitu? Selama kamu ga’ masuk, kamu juga ga’ pernah bales SMS-ku?”
“Aku lagi ga’ punya pulsa Lan…” jawabnya datar
“Ga’ punya pulsa? Biasanya kamu kalo lagi ga’ punya pulsa, kamu minta pulsa sama Ayah atau Bunda kamu? Apa pulsa kalian habis berjamaah?” tanyaku penuh rasa curiga
“Ga usah posesif deh Lan, kamu kan bukan pacarku” tetap datar.
“Dan kamu pun bukan Ibnu!” sedikit menaikkan nada bicaranya. Aku tahu, itu bukan nada biasa, melainkan nada sindiran. Aku hanya diam dan diam. Aku bingung harus bagaimana. Aku tahu apa kunci masalah dari semua ini. Ibnu.
“Ayo kita selesain masalah ini!” aku menarik tangan Sinta menuju gudang sekolah. Sepi. Itulah tempat yang tepat.
“Sin… Ibnu yah masalah kamu?”. Sinta hanya membuang muka. Jutek sekali parasnya. Aku ini seperti musuhnya saja.
“Sin, jawab!!!” pintaku mengguncang-guncangkan pundaknya
“Kamu pikir aja Lan! Ibnu itu mantanku! Aku baru putus seminggu sama dia, kamu udah berani jalan sama dia, apa yang ada di otak kamu??!!” cetusnya geram
“Sin, maksud kamu apa? Kamu pikir aku ngambil Ibnu, gitu?”
“Ga’ usah nyangkal! Kemarin pun kamu jalan kan sama dia? Padahal Maya udah nyoba ngajak kamu untuk jenguk aku? Tega kamu yah?”
“Kamu salah paham Sin…”
“Salah paham apa? Aku udah dua kali ngeliat dengan mata kepalaku sendiri kamu jalan sama Ibnu, terus aku dapet laporan dari Maya juga Lan… Kamu mau nyangkal apa lagi??
“Dan, di saat seorang sahabat sakit, justru kamu malah enak-enakan jalan sama mantanku!
“Sahabat apa kamu ini??!!” semakin lirih nadanya. Namun sungguh, sungguh, kata-kata itu menusuk dalam hatiku.
“Ga’ usah munafik!!”. Ya Tuhan… begitu dahsyatnya kata-kata itu semakin menusuk hatiku ini. ‘Munafik’, seperti itu kah aku?.
“Bukannya… kamu yang munafik?” ucapku lirih tak berani menatap sahabatku itu
“Maksud kamu??!!” tanya Sinta geram
“Bukankah aku yang terlebih dulu suka pada Ibnu?” aku merunduk.
Sinta terdiam.
“Bukankah aku yang mengenalkanmu pada Ibnu?” air mataku mulai berlinang perlahan, namun pasti.
“Bukankah kamu waktu itu tahu bagaimana perasaanku pada Ibnu?”. Sinta makin membuang mukanya.
“Bukankah kamu pun tau betapa semangatnya dan gencarnya aku dikala menceritakan apapun tentang Ibnu?” suaraku semakin serak. Lirih, aku merasakan suaraku lirih. Sangat lirih. Sungguh aku tidak mengerti, mengapa aku selirih ini.
“Kamu kan sahabatku Sin, tapi saat itu kamu seperti musuhku. Dan kamu kan tahu Sin, aku membiarkanmu mencintai Ibnu sepenuh hatimu. Aku mengorbankan perasaanku! Aku korbankan itu demi sahabatku. Tapi mengapa saat ini kamu begitu marah padaku saat tahu aku jalan sama Ibnu? Padahal dulu kamu ga’ peduli bagaimana perasaanku. Begitu sakit! Sakit Sin!!!” aku berlari meninggalkan Sinta dengan isak yang menemaniku. Sinta hanya terpaku. Sepertinya ia tak beranjak. Entah apa yang ia pikirkan. Entahlah, mungkin sebuah penyesalan, atau mungkin beribu kesal. Aku tidak tahu jelas dan pastinya. Yang aku tahu hanya satu, Sinta adalah sahabatku, sahabat terbaikku. Masih sampai detik ini. Entah bagaimana dipelosok hatinya. Entah masih adakah gelar sahabat itu untukku. Aku tidak peduli, dan mencoba untuk tidak peduli saat ini. Oh Tuhan… seperti inikah persahabatan kami? Aku menyayangi Sinta, tapi aku mencintai Ibnu. Bahkan Sinta tahu akan hal itu sedari awal. Sebenarnya seperti apakah persahabatan itu dimatanya??.

Cerpen (Oh Kak Ilhamku....)

Baru saja adzan dzuhur berkumandang, Lila sudah terbirit-birit menuju kamar mandi
“Lho… Lil? Mau ngapain kamu buru-buru gitu? Kebelet yah? Cepetan yah kalo kamu mau pipisnya! Mamah mau istinja, lalu berwudhu nih…” cetus Mamahku yang cerewet
“Ngga’ Mah, Lila mau wudhu, mau sholat!” jawabku singkat lalu menerobos langsung ke kamar mandi
“Alhamdulillah… Kamu udah mau sholat Lil? Mamah seneng ngedengernya! Tapi Lil, kamu jangan terburu-buru, kamu harus inget, belum iqomat lho! Sholat sunnah aja dulu! Seperti Mamah biasanya…” ucap Mamahku yang kian cerewet
“BERES MAH….!!!” teriakku dari dalam kamar mandi menyudahi percakapan kami.

Baru aja aku keluar kamarku, Kakakku Via mulai menggodaku…
“Aduh seneng deh punya ade yang mulai insaf, nanti pasti kelak kamu bisa mendo’akan Kaka’mu yang cantik ini agar makin cantik deh…”
“Apa sih…? Kaka’… kamu tuh udah cantik, nanti kalo aku doain makin cantik mau secantik apa? Mau ngalahin Ratu Eli apa? Ga’ mungkin kan Ka’ aku minta do’a kaya’ gitu?”
“Wah… wah… wah… Selain kamu udah pinter sholat, kamu udah pinter ngerayu juga yah? Diajarin sama siapa sih kamu? Atau jangan-jangan…”
“Jangan-jangan apa Ka’??” tanyaku penuh rasa heran
“Jangan-jangan kamu udah punya cowo’ yah?” ledek Kak Via
“Ih… apa sih?” lalihku tersipu malu.


* * *

Aku turuni anak tangga satu persatu. Baru saja aku hampir sampai anak tangga terakhir menuju ruang makan, Mamah sudah mulai menggodaku…
“Pah, anak kita udah pada besar-besar kan Pah?”
“Iya Mah, memangnya kenapa?”
“Udah pada puber dong? Udah pada genit dong? Berarti udah bisa jatuh cinta dong Pah? Kalo Via kan udah kuliah, Danu juga udah semester akhir, tapi kalo yang masih SMP pantes ga’ Pah jatuh cinta?” Mamah menggodaku sambil melirik ke arahku yang mematung di tangga
“Yah jatuh cinta boleh aja sih Mah, tapi kalo sampai punya pacar, Papah ga’ setuju! Masih kecil kan Mah…”.
Aku mulai gemas dengan kondisi seperti ini. Aku yang berniat makan malam bersama keluarga menjadi tak selera. Aku balik lari menaiki anak tangga, menuju kamarku tersayang.
“Aduh… Mamah sih ngeledek Lila terus, Lila ngambek kan jadinya” tukas Kak Via mengejarku.

Kak Via mengetuk pintu kamarku dengan lembut sambil merayuku. Aku tak menjawab, apalagi membukakan pintu. Aku terus menangis di kamarku, memeluk guling, mematikan lampu, membiarkan hiasan dinding-dindingku yang berupa sticker lampu itu menyala satu persatu, terlihat sangat indah. Namun hatiku tetap saja galau, aku ga terima diolok-olok terus seperti ini.
Apa salah aku jatuh cinta? Apa salah aku sholat? Aku malu… Malu digoda terus seperti itu.

* * *

Baru beberapa langkah aku menginjakkan kakiku dipelataran sekolah, Desy udah teriak-teriak memanggilku. Dengan terengah-engah Desy menyampaikan suatu kabar yang sangat menggembirakan untukku, Kak Ilham kemarin menitip salamnya padaku. Dag dig dug jantungku berdebar kencang. Wajahku merah merona. Bagaimana Tidak? Kak Ilham, cowok pujaanku menitip salamnya padaku. Percaya tak percaya aku harus percaya, karena yang menyampaikan itu sahabat baikku sendiri. Jam istirahat aku lari terbirit-birit menuju ruang rohis, mencari kak Ilham tersayang. Oh… apa yang aku dapatkan? Kak Ilham tengah bertengger di depan pintu seraya menyambutku…
“Assalamu’alaikum Lila”
“Wa’alaikumsalam Ka’…” jawabku malu-malu
“Sudah kamu terima salamku?”. Aku mengangguk dengan manja, wajahku pucat, aku malu.
“Syukurlah… sahabatmu orang yang amanah” jawab Kak Ilham dengan senyumnya yang amat manis
“Ka’, seperti yang Kaka’ nasihatkan pada Lila, Lila sudah rajin sholat, rajin mengaji, rajin bersedekah, pokoknya rajin beribadah. Dan Lila juga ga’ lupa pesan Kaka’ kalo Lila melakukan itu semua hanya karena Allah… Tapi Lila juga ga’ lupa kalo Kaka’ pernah bilang Kaka’ akan sayang sama Lila kalo Lila melakukan itu semua…” ucapku malu-malu tak berani menatap mata indah Kak Ilham yang tengah berada dihadapanku. Kak Ilham hanya tersenyum. Lalu tertawa.
“Lila, sekarang Kaka’ sayang banget sama Lila, tidak terpaksa seperti janji Kaka’, Lila tau kenapa? Karena Lila itu anak yang manis dan penurut. Lila juga sayang kan sama Kaka’?”. Aku hanya terdiam kaku, tak ku sangka jawaban itu yang akan aku dapatkan. Kali ini aku mengangguk penuh rasa semangat. Lalu tiba-tiba aku terngiang kata-kata Papahku tempo hari…
“Tapi Ka’, kata Papah aku belum boleh pacaran dulu, mungkin kalo aku udah SMU atau kuliah baru boleh, aku bingung Ka’…” tuturku polos. Kak Ilham tertawa renyah, perutnya seperti ada yang menggelitik hebat. Aku bingung.
“Lila sayang… Kaka’ akan tunggu kamu sampai Papahmu mengizinkan, dan semoga Allah mengizinkan. Sekarang kamu kembali ke kelas, belajar yang rajin agar kamu pintar dan bisa masuk SMU favourite. Setiap pulang sekolah kalau tidak ada halangan Kaka’ akan mengantarmu sampai rumah, Kaka’ akan menjadi seorang Kaka’ yang melindungi Adiknya. Kaka’ sayang Lila… Assalamu’alaikum” pisah Kak Ilham meninggalkanku. Aku terpaku mendengar kata-kata itu, ‘sayang’, oh… betapa indahnya cinta yang telah Engkau berikan padaku Ya Khalik!

Cerpen (Bunda Juga Boleh Punya Mimpi)

Bunda Juga Boleh Punya Mimpi.


Aku terus asik memandang layar monitor komputer kesayanganku (karena ia tempat pelampiasan ku membuang jenuh). Aku terhenyak seketika saat pintu kamarku yang sengaja seharian ini ku tutup demi menjauhkan gangguan dari adikku, terketuk dahsyat.
“Cin... Cin...! Buka nak!”. Aku bergegas meraih selot pintu kamarku, lalu membukanya.
“Kenapa sih Bun...? Sampai kaget aku Bun...”
“Hhh... Cin, Bunda mau minta tolong sama kamu”
“Minta tolong apa Bun? Darurat sekali rasanya!”
“Tolong beli gas di warung yah nak! Gas kita sudah habis, Bunda lagi masak nak, tanggung kan kalau harus tunggu Ayah pulang”. Aku ternganga, sebegitukah paniknya jika gas habis?. Lalu aku terkekeh sejadi-jadinya. Ya, begitulah Bundaku, bagiku ia amat lucu. Bahkan, ia amat teramat sangat lucu, dibandingkan badut-badut dimanapaun. Begitu pula kelucuannya yang tak pernah hilang dan tak pernah habis seperti rasa sayangku padanya.


“Sepertinya kamu makin asik nih sama komputer? Tugas terus yah?”
“Ah Bunda! Ngga’ kok, aku cuma iseng aja nerusin novelku Bun...” jawabku santai sambil terus asik menguyah dan melahap bakwan jagung buatan Bunda yang super lezat.
“Tu kan, ketahuan! Cin, kamu tuh! Akh, bukannya kamu serius sama studi, malah nerusin novel ga’ jelas kamu itu terus!”
“Ya Allah Bun, Bunda tenang aja kali, kan aku nerusin novel ini kalau aku sudah menyelesaikan tugasku Bun...”
“Iya Bunda tahu, dan percaya. Tapi nak, kelak kamu akan semakin asik dengan novelmu, lalu kamu lupa sama tugas-tugasmu”. Bunda mulai menaikkan nada bicaranya. Aku yakin, Bunda mulai serius. Aku berusaha memilah kata demi kata agar Bunda yakin bahwa aku tak akan mengabaikan studiku hanya karena novelku yang mungkin tidak berbobot ini untuk orang lain, namun amat berarti bagiku.
“Bun, Bunda pokoknya tenang saja ya... Aku janji kok Bun, aku ngga’ akan lupa sama studiku. Lagian Bun, novel ini kan benar-benar impianku, impianku agar dapat menjadi panelis, Bun!”.
“Bunda ngerti nak, tapi yah kamu juga harus ngertiin Bunda yah! Bunda rela melakukan apa saja yang penting halal demi studi mu! Rela nak, kepala jadi kaki, kaki jadi kepala! Itu lho pepatahnya orang Jawa...”. Aku mengangguk dahsyat sambil mengumbar senyum manjaku pada Bunda. Sepertinya Bunda terpengaruh oleh senyum dahsyatku, luluh.
“(Menghela napas) Yah, Bunda do’akan apa yang kamu impikan dapat tercapai nak, ingin menjadi panelis yah? Ck...ck...ck... Ada-ada saja kamu ini! Dulu juga kamu ngotot ingin menjadi pelukis terkenal, sampai setiap hari kerjanya menggambar terus. Lalu menjadi designer, tiada hari tanpa menjahit baju-baju barbie-barbiemu. Terus jadi akuntan sampai Bunda kuliahkanmu di jurusan akuntansi, sekarang lah kamu ingin jadi panelis? Hmm... ada-ada saja kamu nak!”. Bunda mengusap-usap rambutku lembut.

“Tapi yah, Bunda juga boleh kan punya mimpi seperti kamu? Bunda tuh kepingin kelak anak Bunda mendapat kehidupan yang jauh lebih baik dari Bunda! Bahagia dunia akhirat lah pokoknya! Bunda ingin lihat anak Bunda di wisuda, memakai toga! Bunda ingin melihat dibelakang namamu itu lho ada gelar sarjananya! Biar bisa Bunda banggakan ke orang-orang walaupun Bunda hanya bisa menguliahkan kamu dan kakakmu sampai jenjang S1! Yah, impian Bunda tidak banyak kan nak, jadi tolong, wujudkan impian Bunda yah!”. Bunda tersenyum merekah seusai ‘kenyang’ mengusap-usap kepalaku. Hatiku dingin, seperti ada sebongkah es yang betah bersemayam di dalamnya. Air mataku jatuh menetes saat Bunda meninggalkan kamarku. Aku yakin, sepanjang ocehan Bunda tentang impiannya tadi, masih lebih panjang lagi do’a yang ia lontarkan dalam hatinya, dalam sholatnya. Ah... memikirkan dan membayangkannya membuat air mataku ingin keluar dari persembunyiannya terus hingga tak ada ujung lagi tempat mengalirnya, begitu panjang, begitu lapang, layaknya kasih sayang Bunda padaku. Beliau, setua itu, serentan itu, kulitnya mulai malas untuk mengencangkan dirinya hingga mengendur, rambutnya mulai enggan menjaga kekelamannya hingga putih bersih, tenaganya mulai suntuk memikul beban, dan... dan... dan... Ah...............!!!!! Aku tak sanggup lagi mengutarakannya. Di usianya yang setua itu, ternyata ia masih memiliki mimpi-mimpi kecil dalam hidupnya yang begitu besar artinya untukku melaksanakannya.

~Misscupu caiiand Mama~
^I Luph U Pull Mama^

Cerpen (Mimpi untuk Bunda)

Mimpi untuk Bunda

Langit-langit di kamarku masih tetap terlihat putih sejak aku menatapnya setengah jam yang lalu. Berat rasanya beban hati yang tengah ku tanggung ini. Mungkin, tak seberat beban yang Bunda tanggung. Sekerlip aku memejamkan mataku, rasanya beban itu semakin bertambah. Begitu seterusnya sampai mungkin aku benar-benar tertidur pulas.
“Cin...”. Bunda membuyarkan lamunanku. Bunda tengah bertengger di liang pintu kamarku.
“Kenapa Bun...?” tanyaku tersingkap dari ranjangku.
“Besok kamu masih punya ongkos nak?”
“Mmm... Sebentar Bun, Cindy cek dulu.” Aku merangsek dompet dalam tasku. Hanya ada satu lembar uang merah, bukan seratus ribu, tapi sepuluh ribu.
“Sepuluh ribu Bun...”
“Hhh... Tidak cukup yah untuk besok?”
“Sepertinya tidak Bun, aku harus nge-print tugas. Tidak ada uang sisa untuk Cindy Bun?”
“Hmm... Ada... Sebentar Bunda ambil dulu.”. Aku tahu, Bunda mengada-ada tentang uang itu. Aku yakin, saat Bunda memasuki kamarnya, ia hanya akan terduduk diam menatap dompetnya yang hanya berisi uang untuk ongkos kerjanya saja esok hari. Seperti dugaanku pula, Bunda akan kembali ke kamarku dengan selembar uang merah lagi ditangannya.
“Bunda ada ongkos tidak?”
“Ada. Tenang saja nak.”. Bunda meninggalkanku beserta senyumnya yang terasa menamparku di kamarku. Ya, aku tahu, senyum itu, senyum itu adalah senyum kepahitan. Aku berbaring lagi, memutar otakku sekeras-kerasnya. Berusaha untuk mencari ide yang membuahkan ‘emas’. Ya! Aku tahu! Aha! Benar, benar! Aku tahu caranya!. Aku terlonjak membanting tubuhku ke depan meja komputer di dalam kamarku. Semangatku menggebu-gebu menyalakannya. Aku berusaha sabar menunggu loading komputerku yang selalu mebuatku mual. Komputerku lola-nya bukan main. Aku berusaha sabar membuka file-ku yang amat berharga, file novel ku yang usang. Yang aku pikirkan saat ini adalah, aku harus bisa menjual novelku ini. Tapi... Aku sama sekali tidak berpengalaman akan hal ini. Ini pun novel pertamaku. Sudah tiga tahun file ini menjamur dalam RAM komputerku. Kali ini, aku harus benar-benar menyelesaikannya. Secepatnya, lalu menjualnya. Hasilnya akan aku berikan separuh pada Bunda, setidaknya dapat menolong keuangan Bunda untuk beberapa bulan ini, sisanya aku tambahkan RAM komputerku lagi agar tak lola, lau sisanya lagi aku belanjakan keperluan pribadiku, lau sisanya lagi... Ah! Rasanya takkan bersisa jikalau novel ku ini laku. Ya, aku yakin, novel ini akan laku dipasaran, karena aku tahu, novelku ini sangatlah menarik, terutama untuk kaula muda. Pasti akan laku! Pasti akan membuahkan hasil! Pasti aku bisa menolong Bunda dalam krisis ini! Pasti!.

Kantuk dalam diriku rasanya tak tertahankan. Jika mataku ini bisa berbicara, pasti aku akan mual mendengar ocehan kantuknya. Tapi, tapi, tapi... Ah...! Huaaahhhh…!. Tapi aku harus serius menyelesaikan novel ini. Setidaknya dalam satu minggu telah selesai. Tak bosan jariku menari-nari di atas keyboard. Ya, sudah 78 lembar A4. Ya, 112 lembar. Ah... Rasanya cukup, 178 lembar A4. Yang ku tahu, penerbit hanya akan menerima minimal 100 lembar HVS A4. Dan, kurasa ini lebih dari cukup.

Aku bergegas ke sebuah alamat yang kudapati dari internet. Salah satu penerbit terkemuka di Indonesia. Sehabis pulang kuliah, masih dengan seragam praktikumku yang rapih, aku merangkul sebuah map berisi 178 lembar kertas HVS A4. Ku jaga ia erat-erat, jangan sampai sesuatu akan terjadi padanya, maka, hancurlah sudah khayalanku untuk membantu Bunda yang tengah dilanda krisis paceklik keuangan.

Tubuhku gemetar saat memasuki ruang redaksi. Beberapa menit aku menunggu seseorang yang saat ini benar-benar penting bagiku. Sekitar lima belas menit ku tunggu, akhirnya ia muncul juga. Berpakaian sangat rapih, berdasi.
Ia mulai membuka serta mebaca lembar demi lembar novelku, sesekali ku lihat ia tersenyum simpul. Tak jarang pula ia tertawa, bahkan sesekali terbahak-bahak.

Sebulan ku tunggu telepon dari penerbit buku itu. Sampai akhirnya datanglah hari kebahagiaan itu. Pak Johan, bagian redaksi yang ku temui waktu itu, menyatakan ia terkagum-kagum dengan novelku.
“Cerita mu ini sebenarnya kampungan! Sudah basi! Banyak cerita seperti yang datang ke meja redaksi saya. Dan hampir semuanya saya tolak!!”. Jantungku berdegup kencang, wajahku mulai pucat.
“Tapi lain dengan kau ini manis... Novel mu begitu lain! Spesial! Memiliki karakter sendiri. Kau tahu nak, aku berusaha meluangkan waktuku untuk menamatkan novel mu ini! Sangat menarik! Cerita percintaan yang romantis, lucu, dan juga menyebalkan. Hahhaa…”
Aku tahu, saat ini air mataku menetes membasahi gagang teleponku, aku bahagia sekali. Terutama saat aku mendengar ucapan terakhir Pak Johan.
“Jadi... kapan kau mulai taken kontrak?”.
Hah!! Aku terlonjak kaget dari tidurku. Komputer dihadapanku masih menyala, Microsoft Word tebuka lebar memampangkan novelku yang baru 50 halaman. Ya Allah... ternyata ini hanya mimpi.

TUGAS PENGANTAR KOMP. & TI 1C

K
omputer. Siapa yang tak mengenal kata atau benda ini. Mungkin hanya orang awam saja yang belum mengetahui seperti apa wujud benda ini. Setiap hari, hampir setiap orang ‘bercengkerama’ dengan benda ini. Termasuk saya. Ditilu dari fungsinya, jelas komputer memegang banyak fungsi. Kemajuan teknologi kini makin menghadirkan wajah baru dari sang komputer ini. Mulai dari generasi, sampai perkembangannya. Itu merupakan sedikit alasan dan sebab mengapa komputer berperan penting dalam kegiatan belajar-mengajar maupun dalam bidang pekerjaan. Kali ini yang akan saya bahas adalah dampak atau akibat yang ditimbulkan komputer bagi penggunanya (saya sendiri lho…! Hehheee…).
Sebagai permulaan, marilah kita tengok dahulu untuk apa saya menggunakan komputer. Tentunya tidak untuk saya makan ☺ (jayus). Yang saya ingat, semenjak saya memiliki komputer, hampir saya tak pernah abstain untuk selalu ‘bersenggama’ bersamanya (kecuali kalau lagi error ataupun super lola alias loading lama! Lemotnya terkadang bikin jengkel). Peran pentingnya untuk saya sendiri adalah untuk mengerjakan tugas. Mulai dari tugas sekolah, ataupun sekarang, tugas kuliah yang kian menumpuk dan harus terus ‘bertempur’ bersama komputer. Diluar mengerjakan tugas, di rumah, saya biasa menggunakannya hanya sekedar hiburan. Misalnya nyetel musik, nonton, main game , ataupun upload foto. Selain tugas, yang lebih banyak saya luangkan waktu saya untuk komputer di rumah adalah sebagai penyalur hobi saya. Terkadang ngegambar sesuka hati di Paint. Yang sering, buat cerpen ataupun novel saya yang tak pernah selesai sejak sekolah karena ‘kekejaman’ virus yang melanda file novel saya. Ditilik dari penggunaannya, saya rasa itu adalah hal positif. Saya jarang main game. Sebabnya, saya lebih memilih menyalurkan hobi. Namun, jika saya teropong lebih dalam, memang dibalik sifat positif tersebut, komputer memiliki dampak negative bagi diri saya. Contohnya, untuk membuat cerpen, saya biasanya menuangkan ide saya secara langsung saat komputer sedang ON, sehingga membutuhkan waktu yang lumayan lama untuk saya berhadapan dengan komputer. Terlebih lagi novel, walau hanya dapat menyampahi 5 (lima) halaman dengan kata-kata, cukup menguras waktu (kebanyakan mikirnya) ☺. Sehingga, saya sering lupa waktu. Pernah, suatu kejadian, saya sampai tega membiarkan perut saya terus ‘main’ keroncongan, dari pukul 17.00 sampai jam 22.00 baru saya sudahi percakapan saya dengan komputer. Saat maag yang saya punya tengah memberontak barulah saya makan (Huuhhuuu.... waktu itu rasanya perut saya seperti dipelintir). Kejadian lainnya, sudah seminggu saya menanti film perdana yang akan diputar di layar kaca. Hari demi hari saya terus menanti tayangnya. Pas hari H, saya tidak jadi nonton. Sebabnya tak lain dan tak bukan adalah karena saya terlalu asik menyalurkan hobi saya pada komputer sambil mendengarkan musik. Wah... waktu itu saya menyesal bukan main. Yah..... itulah sepenggal kisah buruk saya yang disebabkan keasyikan saya terhadap komputer.

Lain cerita kalau saya sudah ke warnet (kebetulan di rumah tidak ada koneksi). Online sesuka hati sampai lupa waktu (terlebih kalau warnetnya murah dan tidak lemot). Waktu booming-nya friendster, hampir setiap hari saya ke warnet dan online. Comment sana-sini ataupun searching friend. Upload foto senarcis-narcisnya. Sampai irit jajan di sekolah hanya untuk online. Selain friendster, waktu itu juga asik-asiknya nge-LC. Chatting terus sampai bosan (sejujurnya tidak ada bosannya) ☺. Lain ceritanya sekarang, sampai sekarang, facebook masih merajai dunia ke-ONLINE-nan. Yah, walaupun Twitter juga sudah lumayan yang punya (saya belum, sign up gagal terus sih.....). Waktu yang saya luangkan untuk online tengah berkurang. Disebabkan jadual kuliah yang tidak memungkinkan untuk saya pergi ke warnet, dan juga kalau ingin OL harus confirm dahulu ke teman yang biasa chatt agar OL bareng. Dampak dari facebook sendiri pun terbilang banyak. Banyak negatifnya, namun tidak sedikit pula positifnya. Marilah kita tilik dulu dari segi negatif, karena berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian (Halah….! Apa sih??!!) ☺.
Negatifnya; Banyak Comment tidak penting yang hanya membuat kita terpancing meluangkan waktu untuk; ngomongin orang, ngelantur ngalor ngidul, dll. Tidak jarang pula ada yang request aneh-aneh (pic-nya fulgar). DLL.
Positifnya ; Kita bisa dapat informasi-informasi yang menurut kita menarik dari facebook. Contohnya iklan yang sering tampil. Dari pemasangan iklan pun kita bisa dapat uang lho... (saya sendiri belum pernah coba). Saya, bisa belajar bahasa negara luar (English saya yang sungguh amat teramat sangat amburadul, ataupun bahasa negara mereka sendiri) dari teman saya yang saya kenal di facebook yang berasal dari negara luar. Saya juga mendapat pengetahuan dan wawasan baru dari mereka. Dan yang satu ini, tentu lah semua juga tahu, dari facebook, saya bisa mendapatkan teman baru. Dari mereka lah saya dapat menambah wawasan saya.

Oke, rasanya cukup sekian pembahasan dari saya. Rasanya, jari ini masih ingin terus menari di atas keyboard. Tapi, mungkin saya akan menghabiskan banyak halaman untuk ini. Dan Ibu Anindyani ataupun pembaca bosan nantinya. Terima kasih atas kesempatan serta waktu luang yang diberikan untuk membaca artikel saya ini yang saya ajukan demi memenuhi tugas Pengantar Komputer 1C mengenai Dampak Komputer dan Aplikasinya bagi Users. Saya sangat mengharapkan kritik maupun saran yang membangun tentang tulisan ataupun kebiasaan saya ini dari pembaca sekalian. Terima kasih.



WINDY WIDYANINGSIH
25209109
1EB04